Pemilu 2019 untungkan partai pengusung capres-cawapres

id pemilu

Pemilu 2019 untungkan partai pengusung capres-cawapres

Seorang warga sedang mencoblos di bilik suara saat dilaksanakan Pemilu serentak 2019 pada Rabu (17/4). (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)

"Pemilu serentak 2019 hanya menguntungkan partai pengusung capres dan cawapres," kata Mikhael Bataona.

Kupang (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang, Nusa Tenggara Timur, Mikhael Bataona menilai bahwa pemilu serentak 2019 hanya menguntungkan partai pengusung capres dan cawapres.

"Sistem Pemilu kali ini setelah dilihat ternyata merugikan para kontestan, karena keuntungan suara lebih banyak hanya diperoleh oleh partai yang mengusung capres dan cawapres," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (19/4).

Hal ini disampaikannya menanggapi ada pernyataan dari Wakil Presidan Jusuf Kalla yang mengatakan untuk Pemilu tahun 2024 akan dipisah antara Pilpres dan Pileg karena tidak efektif.

Mikhael melihat bahwa sampai dengan saat ini partai-partai pengusung capres-cawapres lebih banyak mendapatkan suara dibandingkan partai lain.

Contoh kasus adalah partai PDI Perjuangan yang mengusung capres petahana Joko Widodo dan Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto.

"Pemisahan Pemilu pada 2024 yang diusulkan Wapres Jusuf Kalla memang harus disetujui. Apalagi demokrasi kita yang masih mengandalkan populer vote memang mempunyai kerumitan tambahan jika masih diterapkan," ucapnya.

Ia menambahkan bahwa pihaknya tidak menolak model pemilu yang sudah dijalankan dan mau menggantinya, misalnya, dengan model keterwakilan seperti di Amerika Serikat, tapi dampaknya memang nyata.

Dampak itu menurut dia bahwa nantinya harus ada 8.600-an tempat pemungutan suara dengan perangkat pemilu berjumlah jutaan orang

Baca juga: Jokowi-Ma'ruf Amin unggul 90 persen di NTT

"Belum lagi di hari bersamaan setiap orang harus memilih wakil mereka yang akan duduk di lembaga Legislatif dari pusat sampai daerah plus para senator atau DPD. Jadi pernyataan pak JK itu basisnya sangat empirik di mana bisa ditesiskan bahwa sistem election kita sangatlah rumit,” ujarnya.

Mikhael sendiri juga menilai ada sisi positifnya untuk model Pemilu yang baru dilalui yakni dengan sistem saat ini, suara seorang profesor dan seorang pekerja pabrik sama kualitasnya.

Jadi lanjut dia semua orang yang punya hak suara yang sama, adalah model pemilu yang sangat demokratis.

"Hanya masalahnya adalah akan selalu ada tirani mayoritas dan dominasi kelompok oligarki di hampir semua partai politik. Tapi saya percaya dengan edukasi yang terus menerus di ruang- ruang publik, termasuk ruang-ruang publik virtual seperti Facebook, twiter dan lainnya maka kualitas pemilih-pemilih kita akan semakin baik dan cerdas di masa depan,” ujar dia.

Baca juga: Klaim kemenangan Prabowo-Sandi masih lemah
Baca juga: 1.395 TPS di Indonesia berpotensi mengadakan pemungutan suara susulan