Pelukan Jokowi kepada Paloh ekspresi kesantunan yunior kepada yang tua
"Secara semiotik, bisa dibaca bahwa pelukan Jokowi kepada Surya Paloh adalah ekspresi kesantunan seorang yunior kepada orang yang lebih tua," kata Mikhael Raja Muda Bataona.
Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikheal Raja Muda Bataona memaknai pelukan Jokowi kepada Surya Paloh adalah sebagai ekspresi kesantunan seorang yunior kepada orang yang lebih tua.
"Secara semiotik, bisa dibaca bahwa pelukan Jokowi kepada Surya Paloh adalah ekspresi kesantunan seorang yunior kepada orang yang lebih tua," kata Mikhael Raja Muda Bataona kepada ANTARA di Kupang, Selasa (12/11).
Pelukan Jokowi kepada Surya Paloh ini juga, sekaligus menjadi semacam manifestasi dari falsafah politik Jokowi yaitu "Lamun sira sekti ojo mateni-yaitu meskipun kamu sakti jangan suka menjatuhkan", kata pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unwira itu.
Artinya bahwa meskipun sebagai seorang presiden, Jokowi punya kuasa sangat besar, atau dalam istilah kekuasaan disebut sebagai pihak yang punya surplus power, tapi sebagai sosok yang hidup dalam tradisi Jawa, Jokowi tetap rendah hati untuk merangkul dan menghormati yang lebih tua, katanya menjelaskan. Menurut dia, Jokowi paham bahwa statement-statement keras yang dilontarkan Surya Paloh pada berbagai kesempatan adalah bagian dari komunikasi politik yang harus juga ditanggapi secara cerdas.
"Dan Jokowi menggunakan momentum acara Partai NasDem tadi malam, (Senin, (10/11) untuk menjawabnya," katanya.
Jokowi, kata dia, tidak hanya lewat kata-kata, tetapi juga lewat komunikasi non verbal, yang secara semiotik sangat kuat menegaskan posisinya, bahwa Jokowi punya hati dan tetap menghormati Surya Paloh dan partai NasDem.
"Mengapa karena bagaimana pun juga NasDem sudah berkorban untuk Jokowi-Jusuf Kalla dan Jokowi-Amin," kata Mikhael Raja Muda Bataona.
Bagi Bataona, dalam komunikasi, komunikasi non verbal seperti pelukan mempunyai makna yang lebih kuat dan mendalam, ketimbang komunikasi verbal.
Dalam hal ini, Jokowi sukses membungkam semua tudingan dan prasangka buruk tentang hubungannya dengan Surya Paloh juga hubungan PDIP dan NasDem, tambah pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.
"Secara semiotik, bisa dibaca bahwa pelukan Jokowi kepada Surya Paloh adalah ekspresi kesantunan seorang yunior kepada orang yang lebih tua," kata Mikhael Raja Muda Bataona kepada ANTARA di Kupang, Selasa (12/11).
Pelukan Jokowi kepada Surya Paloh ini juga, sekaligus menjadi semacam manifestasi dari falsafah politik Jokowi yaitu "Lamun sira sekti ojo mateni-yaitu meskipun kamu sakti jangan suka menjatuhkan", kata pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unwira itu.
Artinya bahwa meskipun sebagai seorang presiden, Jokowi punya kuasa sangat besar, atau dalam istilah kekuasaan disebut sebagai pihak yang punya surplus power, tapi sebagai sosok yang hidup dalam tradisi Jawa, Jokowi tetap rendah hati untuk merangkul dan menghormati yang lebih tua, katanya menjelaskan. Menurut dia, Jokowi paham bahwa statement-statement keras yang dilontarkan Surya Paloh pada berbagai kesempatan adalah bagian dari komunikasi politik yang harus juga ditanggapi secara cerdas.
"Dan Jokowi menggunakan momentum acara Partai NasDem tadi malam, (Senin, (10/11) untuk menjawabnya," katanya.
Jokowi, kata dia, tidak hanya lewat kata-kata, tetapi juga lewat komunikasi non verbal, yang secara semiotik sangat kuat menegaskan posisinya, bahwa Jokowi punya hati dan tetap menghormati Surya Paloh dan partai NasDem.
"Mengapa karena bagaimana pun juga NasDem sudah berkorban untuk Jokowi-Jusuf Kalla dan Jokowi-Amin," kata Mikhael Raja Muda Bataona.
Bagi Bataona, dalam komunikasi, komunikasi non verbal seperti pelukan mempunyai makna yang lebih kuat dan mendalam, ketimbang komunikasi verbal.
Dalam hal ini, Jokowi sukses membungkam semua tudingan dan prasangka buruk tentang hubungannya dengan Surya Paloh juga hubungan PDIP dan NasDem, tambah pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.