Kupang (ANTARA) - Kabupaten Ende, Flores, bagian tengah merupakan salah satu dari 12 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan angka kasus positif COVID-19 cukup tinggi, sejak diumumkan kasus pertama pada 13 April 2020 lalu, namun sudah berhasil keluar dari zona merah.
Padahal, kasus yang terkonfirmasi positif COVID-19 di kota bekas pembuangan Proklamator RI, Soekarno itu sejak diumumkan pertama oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi NTT pada 13 April 2020, terus bergerak naik dan mencapai angka cukup signifikan yakni 12 kasus positif.
Angka 12 kasus positif ini, kemudian menempatkan Kabupaten Ende pada urutan keempat sebagai daerah dengan kasus positif tertinggi di NTT setelah Kota Kupang dengan 34 kasus, Sikka 27 kasus dan Manggarai Barat 16 kasus serta Sumba Timur 10 kasus positif COVID-19 (data Jumat, 10/7).
Berdasarkan data yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi NTT, kasus yang terkonfirmasi positif COVID-19 di Kabupaten Ende berasal dari tiga kluster yakni kluster KM Lambelu, kluster Magetan dan kluster Gowa.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kabupaten Ende, Muna Fatma mengatakan dalam penanganan COVID-19, Pemerintah Kabupaten Ende sudah mengeluarkan kebijakan, dimana setiap orang yang reaktif tes cepat langsung dilakukan penelusuran (tracing) terhadap kontak erat.
"Kebijakan di Kabupaten Ende adalah begitu tes cepat reaktif, maka kami langsung melakukan penelusuran terhadap kontak erat," katanya.
Tim gugus tugas juga tidak menunggu ada yang positif dari hasil tes usap baru dilakukan penelusuran kontak.
Dalam kasus kluster Gowa misalnya, setelah di Manggarai Barat dilaporkan ada yang positif, gugus tugas langsung mengumpulkan kluster Gowa di Ende untuk observasi dan melakukan tes cepat.
Itulah sebabnya, 10 dari 12 pasien yang terkonfirmasi positif di daerah itu berasal dari penelusuran.
Baca juga: Artikel - Upaya menjaga Lembata tetap bebas kasus COVID-19
Berjuang bersama
Dia menambahkan, hal yang pasti adalah penanganan COVID-19 tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi menjadi perjuangan bersama seluruh komponen masyarakat, sehingga dalam tim gugus tugas penanganan COVID-19 terdiri dari semua komponen yang ada di Kabupaten Ende.
"Dalam proses penanganan pastilah ada dinamika, kami selalu menyampaikan ke masyarakat bahwa garda terdepan penanganan COVID-19 adalah masyarakat. Kami tenaga kesehatan merupakan garda akhir," katanya.
"Kalau garda terdepan tidak mampu mencegah, maka kami tenaga kesehatan yang akan menyelesaikannya," kata Kepala Dinas Kesehatan Ende ini.
Menurut dia, dukungan masyarakat merupakan kunci keberhasilan tim gugus tugas dalam menangani COVID-19.
Baca juga: Artikel - Menyoal praktik kawin tangkap di Pulau Sumba
Dan sampai dengan hari ini pun, tim gugus tugas tetap mengharapkan dukungan masyarakat, untuk tetap mentaati protokol kesehatan seperti tetap menjaga jarak, mengenakan masker dan selalu mencuci tangan.
Walaupun kenyataannya, dalam pelaksanaan di lapangan, kami harus bekerja keras untuk melakukan sosialisasi supaya masyarakat sadar bahaya COVID-19, katanya.
Dia mengatakan, penolakan dari masyarakat juga terjadi apabila petugas harus melakukan penelusuran dan pengambilan sampel untuk tes cepat (rapid test).
"Syukurnya teman-teman tenaga kesehatan memiliki semangat yang luar biasa untuk tetap bekerja," katanya.
Protokol kesehatan
Dia mengatakan, untuk mempertahankan Ende tetap berada dalam zona hijau COVID-19, memang membutuhkan kerja keras dari semua pihak.
"Tetap kami akan terus melakukan sosialisasi-sosialisasi untuk mendorong masyarakat melaksanakan protokol kesehatan, guna menjaga agar Kabupaten Ende tetap berada pada zona hijau," katanya.
Koordinasi lintas sektor termasuk dengan organisasi kemasyarakatan juga terus ditingkatkan, sehingga dukungan terhadap gugus tugas semakin besar.
"Saat ini kami sementara sedang melakukan persiapan untuk melakukan tes cepat secara masal, untuk memastikan bahwa Ende betul-betul berada pada zona hijau," katanya.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi NTT, Dominikus Minggu Mere mengatakan, untuk mempertahankan zona hijau dalam satu wilayah memang tidaklah mudah.
Menurut dia, tim gugus tugas harus tetap melakukan deteksi dini, melakukan pencegahan dan tes, terutama ke desa/kelurahan yang sebelumnya berada dalam zona merah.
"Harus tetap melakukan deteksi dini, pencegahan dan testing berupa tes cepat, utamanya pada masa normal baru ini karena masyarakat sudah mulai beraktivitas," katanya.
Selain itu, terus melakukan sosialisasi untuk memberikan pemahaman, dan juga dukungan dari semua elemen masyarakat, untuk bersama-sama menjaga agar wilayah tetap berada dalam zona hijau.
Tingkat kepatuhan
Ahli epidemiologi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Pius Weraman, M.Kes mengatakan, kepatuhan terhadap protokol kesehatan, merupakan kunci bagi suatu daerah dalam mempertahankan posisinya sebagai zona hijau COVID-19.
"Untuk bisa bertahan di zona hijau, tidak ada pilihan lain kecuali semua komponen masyarakat mematuhi protokol kesehatan, karena para ahli belum menemukan obat atau vaksin sehingga untuk mencegahnya hanya menggunakan protokol kesehatan seperti cuci tangan menggunakan sabun, masker dan jaga jarak," katanya.
Menurut dia, pemerintah juga harus konsisten dan selalu mengingatkan masyarakat menggunakan masker, tetap menjaga jarak dan selalu mencuci tangan, seperti yang berlaku umum di Indonesia.
Baca juga: Artikel - Bumi Flobamora akan segera bebas dari kegelapan
"Jangan sampai berlaku parsial, misalnya ada kabupaten yang ketat memberlakukan protokol kesehatan, sedangkan kabupaten lainnya tidak menerapkan protokol kesehatan," katanya.
"Kita semua perlu saling mengingatkan bahwa jangan sampai terjadi pandemi gelombang berikut yang lebih parah dari sekarang," katanya.
Karena itu, penanganan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota harus lebih ketat baik prinsip, sistematis, terukur, dengan pengawasan yang lebih baik dari tingkat provinsi sampai ke tingkat RT.
Ia juga menyarankan agar sebaiknya pintu masuk darat, laut, udara saat ini bebas tetap diawasi sehingga jangan sampai NTT menambah kasus kluster baru dari luar.
Selain itu, surveilans sebaiknya dilakukan secara merata terutama di fasilitas kesehatan tingkat pertama, yaitu puskesmas pembantu, polindes dan puskesmas yang memegang kendali pencegahan.
"Pelayanan kesehatan sebaiknya tetap dilakukan untuk mencegah penyakit lain yang berkembang, dan berisiko seperti malaria, DBD dan penyakit menular atau tidak menular lainnya seperti kekerdilan (stunting), stroke, hipertensi dan lainnya," kata Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Cabang Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.*