Keterangan Sri Sultan Atas Gugatan UU KDIY

id Sri Sultan

Keterangan Sri Sultan Atas Gugatan UU KDIY

Sri Sultan Hamengkubuwono X

Sebelas Pemohon ini antara lain adalah abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat anti diskriminasi hak azasi perempuan, serta aktivis perempuan.
         Jakarta (Antara NTT) - Sebelas orang dengan beragam profesi pada awal Oktober 2016, mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

         Pasal itu mengatur tentang calon gubernur DIY yang harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.

         Sebelas Pemohon ini antara lain adalah abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat anti diskriminasi hak azasi perempuan, serta aktivis perempuan.

         Mereka menilai bahwa ketentuan tersebut bersifat diskriminatif terutama kata "istri" dalam pasal tersebut yang dianggap oleh para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, karena seolah-olah hanya laki-laki saja yang berhak menjadi gubernur DIY.

         Ketentuan tersebut juga dinilai oleh para pemohon telah menimbulkan diskriminasi terhadap wanita, padahal UU Nomor 7 Tahun 1984 telah melarang perlakuan diskriminatif kepada wanita.

         Sebagian pemohon, yaitu Raden Mas Adwin Suryo Satrianto selaku abdi dalem Keraton Ngayogyakarta dan Suprianto selaku paring dalem, merasa memiliki kewajiban untuk mengawal kehormatan keluhuran martabat keistimewaan Yogyakarta. Namun ketentuan dalam UU KDIY tersebut dinilai mereka telah membuat negara mencampuri urusan internal Keraton Yogyakarta.

         Oleh karena itu, pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY mengenai kata "istri" bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai istri atau suami.

         Atas gugatan tersebut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X kemudian memberikan keterangan sebagai pihak terkait dalam perkara uji materi di Mahkamah Konstitusi ini beberapa waktu lalu.

         Hamengkubuwono X menuturkan  bahwa aturan mengenai syarat calon kepala daerah harus menyerahkan daftar riwayat hidup tidak lazim diterapkan dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur di DIY.

         Aturan tentang penyerahan daftar riwayat hidup dikatakan Hamengkubuwono X lebih tepat bila diterapkan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung atau tidak langsung.

         "Dalam pemilihan tersebut, calon-calon kepala daerah mungkin saja tidak diketahui profil dan track record-nya (rekam jejak) oleh calon pemilih di daerah dilangsungkannya pilkada tersebut," ujar Hamengkubuwono X.

         Sedangkan terhadap Kasultanan Ngayogyakarta dan Adipati Kadipaten Paku Alaman tidaklah harus menyerahkan daftar riwayat hidup karena seluruh rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk DPRD Provinsi jelas telah mengenal dan mengetahui rekam jejak dan profil siapa sultan dan adipati yang bertahta di Yogyakarta, jelas Hamengkubuwono X.

         Kemudian Hamengkubuwono X juga menjelaskan bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf a sampai dengan n kecuali huruf m UU KDIY telah mempertegas persyaratan yang harus dipenuhi, karena itu bersifat limitatif yang harus dipenuhi guna memenuhi standar negara untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY.

         Dengan demikian,seharusnya tidak perlu diatur adanya syarat menyerahkan daftar riwayat hidup dalam pengisian jabatan calon gubernur dan wakil gubernur DIY sebagaimana diatur dalam Pasal 18ayat (1) huruf m UU KDIY.

         "Cukup hanya memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a sampai dengan n kecuali huruf m UU KDIY," ujar Hamengkubuwono X.

    
         Kekhawatiran Hamengkubuwono X    
         Kendati demikian, bila ketentuan terkait syarat menyerahkan daftar riwayat hidup dalam pengisian jabatan calon gubernur dan wakil gubenur DIY harus dipertahankan, Hamengkubuwono berpendapat seharusnya hal tersebut tidak menimbulkan polemik dan kontroversi.

         "Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY telah menimbulkan polemik dan problem karena memunculkan berbagai macam penafsiran yang cenderung dapat mengakibatkan terjadinya ketegangan politik DPRD dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat," tambah Hamengkubuwono X.

         Lebih jauh lagi Hamengkubuwono menilai kontroversi dan berbagai penafsiran tersebut dalam menimbulkan spekulasi, ketidakpastian, serta penolakan terhadap sultan bertahta menjadi Gubernur DIY karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m.

         Selain itu norma Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY dinilai menimbulkan ketidakpastian karena seolah-olah menyatakan bahwa pemegang tahta haruslah seorang laki-laki.

         Hamengkubuwono X lalu menyatakan kekhawatirannya bila kontroversi dan polemik ini akan mengancam kedaulatan keraton karena urusan internal keraton terseret melebar di luar keraton yang dinilainya dapat memancing kekisruhan, baik dari dalam maupun dari luar keraton itu sendiri yang tentunya mengancam eksistensi kesultanan dan kadipaten.

         "Hal ini pulalah yang tentunya layak untuk direnungkan khusus, guna diantisipasi pencegahan dan penyelesaian masalahnya karena kekisruhan akan dengan mudah dimainkan dinamika politik yang terjadi," ujar dia.

         Sebagai catatan bahwa DPRD akan memiliki celah kemungkinan juridis untuk ditafsirkan oleh kelompok yang tidak setuju dengan perempuan atau mungkin laki-laki tidak beristeri untuk menjadi sultan bertahta dan menjadi gubernur DIY, yang dikhawatirkan oleh Hamengkubuwono akan mementahkan kekuasaan sultan dalam menetapkan raja selanjutnya.

         Dia menilai kondisi ini dapat mengancam bahkan bisa mengingkari keberadaan Sabda Tama Sultan HB X pada 6 Maret 2015 dan dawuh raja Mei 2016.

         "Hal ini penting harus dijelaskan bahwa prediksi ini bukanlah kekhawatiran berlebihan, namun sebagai gubernur dan sultan bertahta, bisa merasakan gejala dinamika tersebut yang juga membuat kesultanan dan kadipaten merasa tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum," jelas Hamengkubuwono.

         Pada akhirnya Hamengkubuwono mengakui bahwa norma Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY telah mengganggu kewenangan urusan keistimewaan DIY dalam pengisian gubernur dan wakil gubernur dan dia juga menyebutkan bahwa norma ini dapat menjadi ancaman politik dalam wilayah hukum kesultanan dan kadipaten.

         "Semoga putusan Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dalam Pengujian Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY dapat memberikan rasa kepastian hukum serta ketertiban dan kemanfaatan bagi seluruh elemen-elemen Daerah Istimewa Yogyakarta," pungkas Hamengkubuwono X.