Tak gampang menjadi nelayan

id Wahab

Tak gampang menjadi nelayan

Ketua Bidang Informasi dan Komukasi HNSI Nusa Tenggara Timur Abdul Wahab Sidin (Foto ANTARA/Laurensius Molan)

Dokumen-dokumen kapal tersebut, antara lain meliputi Surat Izin Usaha Perikanan Tangkap (SIUPT), Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) serta Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SKPI).
Tatkala hari sudah malam, dan senja pergi menuju ke peraduannya, para nelayan yang berbasis di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Tenau, Kupang, Nusa Tenggara Timur, sering berkumpul dan berkisah.

Kisah yang lebih menarik dan enak didengar adalah saat ada perahu nelayan yang terkena operasi aparat keamanan, karena tidak lengkap membawa dokumen kapal saat melaut.

Dokumen-dokumen kapal tersebut, antara lain meliputi Surat Izin Usaha Perikanan Tangkap (SIUPT), Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) serta Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SKPI).

SIUPT merupakan salah satu layanan yang diberikan Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada masyarakat, baik perorangan, koperasi maupun swasta yang ingin mengajukan permohonan perizinan kegiatan usaha perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan laut lepas.

Instrumen-instrumen SIUPT itu meliputi izin usaha perikanan, izin penangkapan ikan, izin pengangkutan ikan, dan izin penangkapan serta pengangkutan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan.

SIUP merupakan izin tertulis yang harus dimiliki oleh seorang nelayan atau pemilik kapal untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.

Sementara SIPI merupakan izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.

Dan, SIKPI adalah surat izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.

Semua instrumen tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26 Tahun 2013 yang harus dipenuhi oleh para nelayan yang tergabung dalam wadah organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).

Ketika salah satu instrumen tersebut tidak dibawa oleh nelayan, maka nelayan tersebut harus waspada dan siap menerima risiko jika ada operasi penertiban di wilayah perairan setempat.

Terkadang, instrumen-instrumen tersebut tidak dibawa lengkap oleh nelayan saat melaut, sehingga menjadi sasaran operasi pihak petugas keamanan laut saat mereka sedang asyik menangkap ikan.

Ternyata menjadi seorang nelayan itu tidaklah gampang. Tidak segampang mereka menangkap ikan di laut lepas, karena harus memenuhi semua persyaratan yang telah digariskan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut.

Kondisi inilah yang tampaknya membuat nelayan di sejumlah kabupaten se-Nusa Tenggara Timur memilih tidak mengurus dokumen kapal yang dinilainya terlalu ribet dan membingungkan.

Di sisi lain, kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah terkait dengan aturan Menteri Kelautan dan Perikanan serta tak ada wadah organisasi yang memayungi mereka untuk memperjuangkan aspirasinya.

Sebagai masyarakat yang hidup di wilayah pesisir, mereka akhirnya memilih menjadi nelayan hanya sekadar menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tanpa peduli dengan instrumen yang digariskan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut.

Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Nusa Tenggara Timur Abdul Wahab Sidin mengakui bahwa hampir 99 persen nelayan yang beroperasi di tingkat kabupaten tidak memiliki dokumen surat izin penangkapan ikan (SIPI).

Selain SIPI, para nelayan juga umumnya tidak memiliki surat keterangan kecakapan (SKK) untuk nakhoda kapal dan kepala kamar mesin (KKM), sebagai bukti bahwa mereka adalah nelayan.

Akhirnya, pada saat penangkapan oleh Polisi Air Polda Nusa Tenggara Timur, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, seperti yang dialami tiga orang nelayan asal Desa Lamahala di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, beberapa waktu lalu.

"Kalau kita mau jujur, hampir 99 persen nelayan NTT yang beroperasi di wilayah perairan setempat tidak memiliki dokumen kapal, akibat dari kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan tak ada wadah organisasi seperti HNSI yang memayungi dan melindungi mereka," kata Wahab.

Menurut dia, sosialisasi tentang pentingnya dokumen kapal bagi seorang nelayan, dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah perairan setempat baru dilakukan dalam dua tahun belakangan, setelah ada pengalihan pengurusan izin operasi kepada pemerintah provinsi.

Karena itu, jika sampai hari ini ada nelayan yang belum memiliki dokumen harus bisa dipahami, karena memang para nelayan sendiri tidak memahami aturan secara utuh berkaitan dengan penangkapan ikan di perairan laut.

Atas dasar itu, Wahab, atas nama organisasi HNSI, meminta petugas keamanan laut untuk tidak mengambil tindakan hukum terhadap tiga orang nelayan asal Kabupaten Flores Timur, tetapi sebaiknya memberikan mereka pembinaan tentang pentingnya instrumen-instrumen kelautan dan perikanan tersebut.

Sebab, hampir bertahun-tahun lamanya, para nelayan NTT yang mencari ikan di perairan laut setempat tidak dilengkapi dengan dokumen berupa surat izin penangkapan ikan (SIPI) serta SKK untuk nakhoda kapal dan KKM untuk kapal nelayan yang bertonase di atas 10 GT, serta surat tanda daftar untuk kapal berukuran di bawah 10 GT.

Akibat dari ketidaktahuan nelayan tersebut, maka wilayah perairan NTT yang kaya raya dengan berbagai jenis ikan ini, dimanfaatkan oleh nelayan dari luar NTT dengan membawa kapal purse seine besar serta alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti rumpon dan cantrang.

Semua ikan yang ditangkap di daerah itu, dibawa seluruhnya ke Bali dan daerah lainnya di Indonesia, tanpa peduli dari instansi berwenang untuk menghalau dan membendungnya, sehingga tak mengherankan jika pemasukan dari sektor kelautan dan perikanan untuk PAD Nusa Tenggara Timur hanya mencapai Rp1,3 miliar.

Menurut Kohar, salah seorang pembina HNSI NTT, jika saja semua hasil tangkapan yang dilakukan oleh nelayan dari luar NTT itu dibongkar semuanya di Kupang, tentu akan memberi nilai tambah bagi pundi-pundi PAD NTT yang mungkin akan melampaui hasil yang dicapai Dinas Kelautan dan Perikanan NTT dalam sumbangsinya ke PAD.

Di sinilah letak realitanya, karena nelayan lokal kesulitan untuk mendapatkan semua akses regulasi yang ada, dan di sisi lain pemerintah daerah juga tidak melakukan sosialisasi secara kontinu tentang regulasi tersebut sehingga membuat nelayan daerah lebih memilih menjadi nelayan biasa ketimbang harus menjadi nelayan sungguhan yang selalu dihadapkan pada aturan yang mereka anggap sulit.