Melestarikan Festival Foho Rai di Rai Belu

id Foho Rai

Melestarikan Festival Foho Rai di Rai Belu

Warga berjalan menuju puncak kegiatan festival Foho Rai di Kabupaten Belu, wilayah perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan Negara Timor Leste. (ANTARA Foto/Anita P Dewi)

Lima ayam dan seekor babi yang dibawa sejumlah pria tersebut merupakan persembahan kurban untuk para leluhur dalam ritual Bei Gege Asu.

Pagi itu para warga yang terdiri dari perempuan dan laki-laki, kakek-nenek, orang dewasa hingga anak-anak berbaris rapi di Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Mereka hendak mengadakan ritual Bei Gege Asu. Upacara ini untuk memohon izin leluhur sebelum membangun sebuah rumah adat di Dirun. Mereka berbaris memanjang dan mulai berjalan beriringan menuju Puncak Bukit Makes.

Para perempuan membawa koba, wadah sirih pinang dan tihar (gendang kecil). Sedangkan para lelaki tidak membawa apa-apa, kecuali lima lelaki membawa masing-masing seekor ayam pelung jantan dan beberapa lelaki lainnya membawa seekor babi jantan warna hitam.

Lima ayam dan seekor babi yang dibawa sejumlah pria tersebut merupakan persembahan kurban untuk para leluhur dalam ritual Bei Gege Asu. Para peserta mengenakan pakaian adat, yakni sarung tenun dengan atasan kemeja putih (untuk lelaki) atau kebaya putih (untuk perempuan).

Sementara untuk anak-anak gadis usia sekolah dasar hingga SMP memakai sarung tenun dengan dipadukan baju warna hitam. Ratusan orang itu berasal dari 12 suku asli yang tinggal di Dirun maupun di luar Dirun..

Mereka berjalan menuju puncak bukit tanpa mengenakan alas kaki. Meski berjalan melewati bebatuan dalam keadaan panas menyengat di siang bolong, para peserta tetap antusias.

Fil, salah seorang ibu berusia 60 tahun yang turut dalam acara adat itu terlihat begitu kuat berjalan menuju puncak Foho Rai. "Tidak apa-apa kok. Kuat kok kaki saya," katanya seraya tersenyum di tengah terik matahari.

Memang disediakan kendaraan ambulans yang diparkir di tengah bukit. Namun kendaraan tersebut tidak dipakai karena para peserta mayoritas mampu berjalan sejauh tiga kilometer.

Ada beberapa orang yang memutuskan berhenti karena kelelahan atau fisiknya tidak kuat. Namun mayoritas peserta tetap semangat untuk berjalan selangkah demi selangkah.

Begitupun saat menuju pos ke-4 yang harus melewati bukit dengan kemiringan 70 derajat. Rasa lelah, bercampur haus, dan panas di kaki akibat menginjak batu di siang bolong dan beberapa kali menginjak duri sepanjang jalan, diabaikan oleh peserta.

Tarian likurai juga mewarnai perjalanan mereka ke atas bukit. Tarian ini tujuannya untuk memanggil roh leluhur.

Benteng Keramat
Adalah Benteng Makes atau yang dikenal dengan Benteng Tujuh Lapis atau “Hol Hora Ranu Hitu Dirun” yang akan jadi lokasi penyembelihan babi jantan sebagai persembahan terakhir.

Benteng ini merupakan situs megalitikum yang terdiri dari tujuh lapis tembok berbentuk lingkaran. Benteng yang dipercaya sebagai makam para leluhur ini, konon dulunya dibangun oleh warga Dirun dengan bantuan kekuatan yang tak kasat mata.

“Benteng itu didirikan oleh masyarakat Dirun dengan bantuan kekuatan magis," kata pemerhati budaya daerah, Frid Da Costa.

Sementara di pos satu hingga lima, ayam-ayam pelung yang dibawa dipotong secara adat. Begitu pun babi yang dipotong di Benteng Tujuh Lapis. Kemudian mako'an (imam adat) meramal adanya izin dari leluhur terkait rencana pembangunan rumah adat dan masa depan bagi warga setempat melalui usus hewan yang dipotong tersebut.

Ritual Bei Gege Asu ini merupakan satu di antara lima ritual adat yang diselenggarakan oleh lima kampung adat di Kabupaten Belu dalam Foho Rai Festival 2018.

Foho Rai Festival yang digelar pada 3-21 Juli 2018 merupakan sebutan bagi festival kampung adat yang digagas Indonesiana, sebuah program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Direktorat Jenderal Kebudayaan, untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekosistem budaya.

Tantangan Pemerintah
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemendikbud bertekad tetap menjaga budaya leluhur yang ada di Rai Belu tersebut. “Kami (Ditjen Kebudayaan) hanya memberi jalan agar budaya mereka dikenal publik," kata Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid.

Foho Rai Festival ini merupakan program kerja sama pemerintah pusat, pemerintah daerah dan kurator daerah yang bertugas mengumpulkan informasi dan pengetahuan tradisi menjadi sebuah bentuk festival.

Hilmar mengungkapkan upaya memasyarakatkan budaya adat dan memopulerkannya ke publik melalui program festival, merupakan hal yang tidak mudah.

Dari 28 daerah di Indonesia yang dinilainya memiliki potensi untuk mengembangkan tradisi adatnya, tidak semua daerah merespons dengan baik.

Tantangan terbesar pemerintah adalah bagaimana (masyarakat punya) rasa memiliki (terhadap budaya adat) dan ikut mengendalikan (kelangsungan dan pengembangan budaya adat). 

“Belum tentu (budaya adat) bisa berkembang dengan mudah kalau masyarakatnya sendiri enggan untuk dibantu berkembang," katanya.
Dalam perjalanan ada kurang lebih 28 daerah yang diseleksi untuk dilaksanakannya Festival yang didanai pemerintah pusat.

Dari 28 daerah tersebut, akhirnya hanya ada sembilan festival adat yang digelar pada tahun 2018 yakni Foho Rai Festival di Belu, NTT; Festival Budaya Saman di Gayo Lues, Aceh; Internasional Gamelan Festival di Jawa Tengah; Bebunyian Sintuvu dari Sulawesi Tengah; Multatuli Arta Festival di Lebak; Silek Arta Festival di Sumatera Barat; Blora Folklore Festival di Blora, Jateng; Amboina International Bamboowind Music Festival di Ambon dan Festival Tenun Nusantara di Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

Menurut Hilmar mengedepankan budaya serta adat istiadat adalah hal penting untuk menjaga agar kebudayaan itu tak hilang ditelan waktu.

Hilmar mengatakan upaya mengapresiasi ekspresi budaya lewat festival-festival seperti ini sangat penting. Kemudian juga harus disertai peningkatan pendidikan masyarakat adat dan dibukanya ruang berekspresi di komunitas masyarakat adat.

Komunikasi dengan generasi muda masyarakat adat juga perlu dipupuk sehingga budaya adat tidak melulu melekat pada masyarakat tua saja. "Anak muda juga harus dilibatkan," kata Hilmar.

Mengapresiasi dan memelihara kebudayaan sangatlah penting. Menurut Hilmar, banyak hal seperti stunting, konflik sosial di masyarakat dan status sengketa tanah terjadi berawal dari ketidakpahaman dan menganggap remeh budaya.

Festival yang bertajuk Pencerahan Budaya dengan Kembali ke Kampung Adat ini diharapkan kembali membangkitkan kesadaran baru dan rasa cinta masyarakat Belu, NTT pada kekayaan budaya mereka.

Ada banyak tantangan yang menanti diselesaikan Indonesiana dalam memasyarakatkan budaya-budaya daerah di Indonesia ini. Diharapkan masyarakat adat pun mampu bergerak aktif untuk mengatasi permasalahan mereka dengan dibantu oleh pemerintah pusat dan daerah.