Artikel - Manchester United dan harapan kepada "diktator" Erik ten Hag

id Liga Inggris,Manchester United, Erik ten Hag,artikel olahraga Oleh Jafar M Sidik

Artikel - Manchester United dan harapan kepada "diktator" Erik ten Hag

Bruno Fernandes, Cristiano Ronaldo dan para pemain Manchester United saat berlutut menjelang pertandingan Liga Inggris antara Brighton & Hove Albion dan Manchester United di Stadion The American Express Community, Brighton, Inggris, 7 Mei 2022. ANTARA/REUTERS/IAN WALTON.

...Semua orang tahu bakat dan kualitas pemain-pemainnya, tapi menyelami dalam-dalam dengan melihat seperti apa pemain-pemain itu dan bagaimana memancing mereka mengeluarkan permainan terbaiknya adalah sungguh sulit
Jakarta (ANTARA) - Sport Illustrated, The Guardian, dan media lainnya menyebutkan masalah yang dihadapi Manchester United sudah sedemikian akut. Persoalannya bukan lagi soal taktik, pemain atau pelatih, melainkan sudah sangat struktural.

Atraksi mereka di lapangan yang bukan hanya tidak konsisten dan buruk itu disebut banyak kalangan sebagai gambaran dari retaknya hubungan di luar lapangan atau tidak sehatnya persaingan di dalam tim.

Alhasil, mereka sering memperoleh hasil di luar perkiraan, termasuk saat terkapar bagai ikan menggelepar di daratan tatkala dihajar 0-4 oleh Brighton pada 7 Mei.

Bukan skor besar yang paling menyesakkan dada penggemar Man United, melainkan cara tim kesayangan mereka bermain.

Pemain-pemain Man United terlalu sering cuma jalan-jalan di lapangan sampai manajer mereka, Ralf Rangnick, berulang kali menyatakan skuadnya adalah kehilangan agresi dan tak mau menekan lawan.

Rangnick dijuluki "Godfather-nya gegenpressing” di mana Juergen Klopp, Thomas Tuchel, dan Ralph Hasenhuttl adalah "murid-muridnya" yang malah menerapkan filosofi sepakbola menyerang ini di Liverpool, Chelsea dan Southampton.

Sebaliknya sang Godfather kesulitan membumikan filosofi ini di Old Trafford. Tak ada gegenpressing di United.

Dan fakta ini dikuatkan oleh statistik menyerang Liga Premier yang disebut PPDA (Passes allowed Per Defensive Action). Ternyata PPDA Setan Merah menempati urutan kelima belas dari 20 tim Liga Premier. United membiarkan lawannya rata-rata melepaskan 14,4 umpan sebelum mereka mengintervensi bola.

Sudah pasti Rangnick gerah dan kesal. Dan ini tak bisa disembunyikan lagi oleh pelatih yang menjadi "dokter" di balik revolusi yang mengubah Hoffenheim dan RB Leipzig itu.

Sudah menjadi rahasia umum, kata manajer Southampton Ralph Hasenhuttl, manakala United kehilangan bola, pemain-pemain mereka tak serta merta serentak mengepung lawan untuk mengganggu dan mendapatkan kembali bola.

Rangnick sendiri tahu soal ini. Buktinya terlihat pada saat melawan Brighton itu. Pelatih asal Jerman itu terlihat berada di pinggir lapangan guna menginstruksikan pemain-pemainnya agar terus menekan.

Tetapi kebanyakan pemainnya tak menggubris instruksi pelatih, sampai kemudian umpan jauh penjaga gawang Roberts Sanchez membuat Marc Cucurella membobol gawang mereka.

MU pun kalah dalam lima pertandingan tandang berturut-turut dengan hanya bisa mencetak dua gol dan kebobolan 16 kali.

Selanjutnya: Menyalahi prinsip
 
Menyalahi prinsip

Mereka sudah lima kali kebobolan empat gol sepanjang musim ini. Catatan ini sama dengan juru kunci Norwich City.

Musim ini total mereka sudah kebobolan 56 gol yang merupakan angka terbanyak klub ini sejak musim 1978-1979.

Musim ini juga menjadi musim terburuk United dalam sepuluh tahun terakhir karena mengumpulkan poin terendah sejak musim 1990-1991 ketik mereka finis urutan keempat namun berhasil merebut trofi Cup Winners’ Cup.

Baca juga: Erik Hag enggan komentari anjloknya Manchester United

United cuma bisa mengumpulkan 58 poin dan tinggal menyisakan satu pertandingan lagi. Apa pun hasil melawan Crystal Palace dalam pertandingan terakhirnya 22 Mei, peringkat United akan menjadi yang terburuk dalam kurun 30 tahun terakhir.

Posisi enam dalam klasemen pun belum aman karena West Ham United bisa menyalip mereka di tikungan terakhir. Jika itu terjadi maka United bisa absen berlaga di Eropa dalam kompetisi Liga Conference Europa.

Dan untuk kesekian kalinya, setelah diasuh David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho dan Ole Gunnar Solksjaer, United tak bisa menjuarai liga.

Brighton sukses di Liga Premier karena melakukan hal-hal yang tak dilakukan United. Kemenangan mereka atas Setan Merah akhir pekan lalu itu adalah berkat pembinaan yang tepat dan akal sehat setelah bertahun-tahun sia-sia berbelanja, selain karena salah urus.

Jika United bisa bermain lagi dengan intensitas seperti diperlihatkan Brighton dan memiliki tim di belakang layar sejeli tim Graham Potter, maka Setan Merah bisa memulihkan diri seperti masa kejayaannya.

Baca juga: Beckham harap Ronaldo tetap bertahan di Manchester United

United sudah terlalu lama menyimpang dari prinsip-prinsip yang sebelum ini membuat mereka mendominasi Liga Inggris.

Namun sepanjang sejarahnya, dari 18 kali mereka menjuarai Liga Inggris, hanya dua manajer yang mengantarkan Setan Merah menjuarai liga. Pertama, Matt Busby yang mempersembahkan lima gelar juara liga. Kedua, Alex Ferguson bersama 13 gelar juara liga.

Kedua pelatih ini dikenal sebagai diktator-diktator lapangan hijau yang hebat yang mengendalikan hampir semua aspek permainan United.

United sudah mencoba Moyes dan Solksjaer yang karakternya kebalikan dari Busby dan Ferguson.

Mereka juga sudah mencoba pelatih-pelatih keras kepala pada diri Louis van Gaal dan Jose Mourinho. Tapi kedua orang ini direkrut setelah absen lama melatih klub, bukan dicomot setelah tak lama berjaya bersama klub lain.

Kini mereka merekrut lagi orang keras kepala. Namanya, Erik ten Hag. Dia direkrut dengan CV yang lebih segar karena ditarik selagi aktif menjadi pelatih klub lain, Ajax Amsterdam.

Selanjutnya: Menyatukan tim
 
Menyatukan tim

Bukan hanya segar, ten Hag juga sudah dua kali mempersembahkan gelar juara Liga Belanda sejak menukangi Ajax pada 2017 dan di ambang menjuarai lagi Eredivisie musim ini. Dia juga membuat Ajax empat kali berturut-turut masuk Liga Champions

Dia juga pelatih Ajax pertama sejak 1997 yang mengantarkan raksasa Belanda itu ke semifinal Liga Champions pada 2018-2019 setelah menghempaskan penguasa Liga Champions, Real Madrid.

Mereka juga menggulingkan Juventus, sebelum menyerah kepada Tottenham Hotspur dalam final.

Dalam beberapa hal, selain bertipikal diktator perfeksionis seperti Busby dan Ferguson, Erik ten Hag juga seorang revolusioner.

Tak hanya Ajax yang dipolesnya, Utrecht yang semua klub gurem pun menjadi tim yang disegani di Belanda.

Bagaimana ten Hag merevolusi Utrecht sampai finis urutan kelima dalam musim pertamanya menukangi tim ini dan urutan keempat pada musim 2016–2017sehingga merebut tempat Liga Europa, dilukiskan cermat oleh mantan bek Utrecht, Edson Braahfeid.

Braahfeid mengenang ten Hag sebagai pelatih keras kepala dan memiliki kewenangan luas dalam hampir semua aspek tapi justru dia berhasil mengubah Utrecht menjadi tim hebat.

Dia juga pelatih yang berusaha mengenal betul karakter pemain-pemainnya, tidak cuma keterampilan teknis, sehingga mereka yang skuad memang layak masuk. Cara ini membuat kebijakan transfer pemain menjadi lebih efektif sehingga tak ada pemain baru yang tak bisa dimainkan.

Rangnick pernah secara tidak langsung mengkritik kebijakan MU dalam membeli pemain dengan menyatakan Setan Merah seharusnya membeli pemain yang memiliki DNA yang cocok dengan kebutuhan klub dan yang berani beradu fisik serta agresif.

Erik ten Hag memiliki kemampuan yang disebut Rangnick ini.

Baca juga: MU dipermalukan 4-0 tanpa balas oleh Brighton

"Semua orang tahu bakat dan kualitas pemain-pemainnya, tapi menyelami dalam-dalam dengan melihat seperti apa pemain-pemain itu dan bagaimana memancing mereka mengeluarkan permainan terbaiknya adalah sungguh sulit. Tapi inilah yang dilakukan Ten Hag," kata Edson Braahfeid.

Dalam banyak hal, berdasarkan testimoni sejumlah kalangan mengenai siapa Erik ten Hag yang tak ragu menghardik pemain-pemainnya dari pinggir lapangan jika bermain tak seperti dia inginkan, maka ten Hag bisa menjadi Alex Ferguson berikutnya.

Dia bisa menjadi diktator baru di Old Trafford yang dapat menyatukan skuad baik di dalam lapangan maupun di ruang ganti pemain. Tetapi dia juga bisa senasib dengan manajer-manajer pasca Sir Alex. Jika yang terakhir ini yang terjadi, maka mungkin sudah waktunya bagi MU untuk mengganti pemilik.