Larantuka (AntaraNews NTT) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Flores Timur pimpinan Ernesta Katana, tampaknya sangat serius dalam menegakkan aturan terkait dengan partai politik peserta Pemilu 2019, sehubungan dengan laporan awal dana kampanye (LADK).
Kasus ini menimpa Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat Kabupaten Flores Timur, di ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Nasib kedua partai ini bagai telur di ujung tanduk. Ada kemungkinan kedua partai politik ini didiskualifikasi dari Pemilu 2019.
Ada tiga jenis laporan dana kampanye terkait dengan pemilu, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif, yakni laporan awal dana kampanye (LADK), laporan sumbangan dana kampanye, dan laporan akhir dana kampanye.
Laporan awal dana kampanye, disertai dengan laporan sumbangan dana kampanye diserahkan ke KPU paling lambat satu hari sebelum pelaksanaan kampanye, yaitu 22 September 2018.
Rupanya hal ini tidak dilakukan oleh PAN dan Partai Demokrat Flores Timur. Kedua parpol itu terlambat melaporkan LADK kepada KPU setempat, dan KPU Flores Timur pun langsung menganulirnya.
Partai Demokrat tiba di KPU Kabupaten Flores Timur sekitar pukul 18.02 Wita dan PAN pukul 18.20 Wita. Artinya, dengan mengacu pada batas waktu yang ditetapkan pukul 18.00 Wita, maka Partai Demokrat dinyatakan terlambat dua menit dan PAN 20 menit.
Yang menjadi pertanyaan disini, apakah keterlambatan itu disengajakan oleh kedua parpol tersebut ataukah karena pengurusnya menanggap enteng, acuh tak acuh bahkan cuek dengan urusan yang berisiko ini?
Ataukah karena ada kendala internal partai yang menjadi sebab-musabab dari keterlambatan itu, ataukah kedua parpol tersebut memiliki pemahaman hukum yang berbeda menyangkut apa yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 24 Tahun 2018? Semuanya tampak menjadi misteri.
Para pengurus dari kedua partai politik tersebut harus menyadari secara sungguh bahwa partai politik adalah wadah sekaligus sarana tempat berhimpunnya orang-orang yang sudah dikaderkan untuk boleh berkesempatan mengabdi (gelekat) Lewotanah (daerah) sebagai wakil rakyat jika kelak terpilih dalam Pemilu 2019.
Mereka tampaknya sangat terbebani jika KPU pusat sampai akhirnya memutuskan untuk mendiskualifikasi kedua partai politik tertsebut dari panggung politik Pemilu 2019.
Keterlambatan dalam menyampaikan LADK tersebut memang sangat menyakitkan bagi kedua parpol tersebut, karena selama lima tahun terakhir ini, mereka juga menikmati dana bantuan dari APBD Flores Timur untuk kepentingan memfasilitasi aktivitas partai dalam kerangka pembinaan dan penyiapan para kader menjadi pemimpin masa depan.
Penulis kemudian mencermati sejumlah regulasi yang mengatur tentang LADK, tata cara pengajuan LADK, batasan kewenangan KPU dalam pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan serta kewajiban Bawaslu dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pengawasan, seperti diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta Peraturan KPU No.24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu.
Sanksi pembatalan
Selain itu, Peraturan KPU Nomor 34 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu, dan disana pula ada Peraturan Bawaslu yang mengatur tentang hal pengawasan.
Sementara dalam naskah berita acara KPU Flores Timur Nomor 201/BA/IX/2018 tentang Penerimaan Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Tahun 2019, dalam point 3 menegaskan "Partai Politik yang terlambat menyampaikan LADK sebagaimana dimaksud pada angka 2, dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Flores Timur sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 24 tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu Jo Pasal 338 ayat (1) Undang-undang nomor 7 Tahun 2018".
Dalam pasal 67 ayat (1) menyebutkan "Partai Politik Peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD yang tidak menyampaikan LADK kepada KPU sampai dengan batas waktu yang sudah ditetapkan akan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu pada wilayah yang bersangkutan".
Sementara pada pasal 71 ayat (1) yang mengatur tentang mekanisme pemberian sanksi pembatalan yang harus dilakukan oleh KPU kabupaten dengan cara melakukan klarifikasi, dan hasil klarifikasinya diputuskan dalam rapat pleno KPU setempat.
Jika pemberian sanksi pembatalan terhadap parpol sebagai peserta pemilu ada di tangan KPU pusat, lalu apa yang dimaksudkan dengan hasil klarifikasi diputuskan dalam rapat pleno sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan KPU No.24 Tahun 2018?
Sementara pada ayat (2) menegaskan bahwa kewenangan penerapan sanksi pembatalan dilakukan oleh KPU pusat, lalu mengapa pada point 3 naskah berita acara itu memuat pernyataan normatif yang memiliki pesan dan kesan memvonis dan menghukum PAN dan Demokrat?
Kedua partai politik itu pun kemudian menilai tindakan KPU Flores Timur telah melampaui batas-batas kewenangan yang seharusnya. Sebab, pada point 3 naskah berita acara, formula hukumnya bersandar pada pasal 67 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 24 Tahun 2018 Jo pasal 338 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017.
Dengan demikian, penggunaan pasal 67 ayat (1) Peraturan KPU ini merupakan pelaksanaan atas pasal 338 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menegaskan bahwa dalam hal pengurus parpol peserta pemilu tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota tidak menyampaikan LADK kepada KPU sampai batas waktu yang ditentukan maka parpol bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai peserta Pemilu pada wilayah yang bersangkutan.
Sementara ketentuan pasal 338 ayat (1) secara limitatif menegaskan pengaturannya dengan rujukan pada pasal 335 ayat 2 yang berbunyi "Laporan Dana Kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi penerimaan dan pengeluaran wajib disampaikan kepada Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 hari sesudah hari Pemungutan Suara".
Artinya, tidak relevan dengan point 3 berita acara KPU Flores Timur Nomor 201/BA/IX/2018 tentang Penerimaan Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Tahun 2019 dan bertentangan dengan pasal 335 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017.
Jika berita acara KPU Flores Timur Nomor 201/BA/IX/2018 tentang Penerimaan Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Tahun 2019 bersandar secara normatif pada ketentuan pasal 338 dan 335 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2018, mengapa PAN dan Demokrat dinyatakan terlambat memasukan LADK?
Saya kemudian bertanya, apakah pada hari terakhir pelaksanaan agenda penyampaian LADK oleh parpol ke KPU Flores Timur itu, diawasi oleh Bawaslu setempat atau tidak? Sebab, dalam hal melaksanakan fungsi-fungsi kelembagaan, konteks pengawasan memiliki instrumen pencegahan yang harus diaktifkan demi menghindari adanya pelanggaran yang berdampak pada kerawan-kerawanan yang mungkin saja terjadi.
Dalam konteks ini, apakah Bawaslu Flores Timur melakukan pengawasan secara melekat dan mengaktifkan instrumen pencegahan? Jika Bawaslu tidak melakukan pengawasan secara melekat dan tidak melakukan pencegahan maka Bawaslu juga ikut berandil terhadap PAN dan Demokrat yang terlambat menyampaikan LADK versi Peraturan KPU 24/2018.
Jika Bawaslu Flores Timur melakukan pengawasan secara melekat dengan mengaktifkan instrumen pencegahan secara dini maka bisa dipastikan bahwa semua parpol peserta Pemilu 2019 akan tunduk dan loyal pada Peraturan KPU Nomor 24 Tahun 2018.
Dan ketika ada parpol yang terlambat seperti ini dan mendatangi Bawaslu untuk berkonsultasi, seharusnya Bawaslu memberikan penjelasan dari aspek yuridis untuk membangunkan pemahaman dan penerimaan partai politik atas kelalaiannya itu, bukan mengarakan parpol untuk mengajukan pengaduan sebagai sengketa.
Kondisi ini sama halnya dengan menarik masalah masuk ke dalam rumah sendiri. Jika arahan Bawaslu mau dilaksanakan oleh PAN dan Demokrat maka akan terjadi upaya mediasi dan mungkin saja akan terjadi sidang Ajudikasi di sana, sambil menunggu putusan Bawaslu dalam penanganan sengketa yang mereka arahkan sendiri itu.
Penulis berdomisili di Larantuka, Flores Timur