Kupang (AntaraNews NTT) - Jika di Eropa dan Jepang dikenal adanya Revolusi Putih karena penduduknya suka minum susu, maka Nusa Tenggara Timur ingin memperkenalkan kepada dunia tentang Revolusi Hijau melalui tanaman kelor atau marungga.
Hal itu disampaikan Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat ketika menyampaikan pidato pertamanya dalam sidang paripurna istimewa DPRD Provinsi NTT di Kupang pada Senin (10/9/2018).
Dihadapan unsur wakil rakyat tingkat daerah hingga pusat, para pimpinan serta pemangku kebijakan lintas instansi, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan lainnya, Gubernur Viktor menegaskan bahwa kelor adalah pohon masa depan bagi NTT.
"Marungga akan dikembangkan menjadi sumber devisa baru bagi Nusa Tenggara Timur," katanya.
Niat membumikan tanaman kelor di provinsi Selaksa Nusa itu bukan baru pertama kali dikemukakannya, namun selalu dikatakannya pada berbagai kesempatan ketika berkampanye sebelum terpilih sebagai Gubenur NTT periode 2018-2023 bersama Wakilnya Josef Nae Soi.
Mantan anggota DPR RI dari Partai NasDem itu optimistis, tanaman kelor akan menjadi sumber devisa baru bagi daerahnya.
Selain itu, tumbuhan dengan nama ilmiah moringa oleifera itu juga memiliki kandungan gizi sangat tinggi sehingga menjadi nutrisi penting bagi masyarakat dalam mengatasi kekerdilan atau stunting dan gizi buruk di daerah itu.
Untuk itulah, ia bersama wakilnya mencanangkan tanaman kelor sebagai salah satu program unggulan yang akan dikembangkan secara besar-besaran melalui gerakan Revolusi Hijau.
Sebagai langkah awal, pemerintah provinsi bersama masyarakat telah menyiapkan lahan pengembangan kelor seluas 8 hektare di Kabupaten Kupang yang menyebar di Desa Oefafi, Desa Oeteta, dan Desa Pitai.
Lahan tersebut akan digunakan sebagai demplot yang akan ditanami sebanyak 10.000 pohon kelor untuk setiap hektare.
Pemerintah provinsi menargetkan pencanangan awal gerakan revolusi hijau penanaman kelor ini akan dimulai pada November 2018 mendatang atau memasuki musim hujan.
Dua klaster
Kepala Dinas Pertanian Provinsi NTT Yohanis Tay Ruba, sebagai pimpinan instansi teknis yang bertanggung jawab merealisasikan program tersebut, secara terpisah menjelaskan, pengembangan kelor akan dilakukan dalam dua klaster yakni klaster daun kering dan klaster biji.
Untuk klaster daun kering tanaman kelor dikembangkan secara intensif dan terintegrasi pada lahan demplot yang disiapkan. Setelah sekitar enam bulan dikembangkan, daun kelor akan dipangkas dan dikeringkan untuk diolah menjadi bubuk.
"Hasil bubuk kelor ini untuk kebutuhan industri yang digunakan membuat produk-produk turunan lainnya dengan berbahan dasar kelor," katanya.
Pemerintah provinsi telah mengajak para stakeholder untuk berinvestasi menyediakan mesin penggiling di sekitar lokasi demplot tersebut.
Di sisi lain, pihaknya juga telah melatih sebanyak 100 petani yang khusus dipersiapkan untuk mengembangkan tanaman kelor dan selanjutnya akan ditambah.
"Kami juga memberikan intervensi berupa pengadaan fasilitas pendukung di lahan demplot seperti kawat berduri untuk pemagaran dan lainnya," katanya.
Yohanis melanjutkan, sementara untuk klaster daun dan biji akan dikembangkan dengan cara tanaman lorong (alley cropping) di pematang maupun teras milik masyarakat.
Pada pola tanam lorong ini di antaranya juga ditanam jenis pangan lainnya, seperti jagung, buah-buahan, dan kacang-kacangan.
"Ini nantinya dikonsumsi sendiri oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan gizinya," katanya dan menambahkan pihaknya juga terus mencari lahan marginal atau lahan kritis serta mendorong masyarakat untuk mulai mengembangkan kelor di lahan tersebut.
Target ekspor
Yohanis Tay Ruba mengakui bahwa proses pengembangan tanaman kelor baru dimulai, namun sudah ada permintaan ekspor dari Benua Afrika sebanyak 1.000 ton per tahun.
Permintaan kelor dari Benua Hitam itu, akan dikirim dalam bentuk bubuk kelor yang diolah dari daun kering yang dihasilkan pada lokasi-lokasi demplot.
"Ketika nanti dikembangkan secara masif dengan memperbanyak demplot, maka selanjutnya diekspor untuk memenuhi permintaan dari Afrika sebanyak 1.000 ton per tahun," katanya.
Yohanis mengaku optimistis bisa memenuhi target permintaan daun kelor tersebut karena didukung dengan pengembangan secara besar-besaran di berbagai daerah potensial.
Untuk pencanangan awal akan dimulai pada awal musim hujan ini, dan secara gencar akan kami lakukan di tahun 2019, 2020 mendatang.
Pemerintah provinsi NTT menargetkan hingga tahun 2023, jumlah pohon kelor yang ditanam mencapai 50 juta pohon.
Saat ini pemerintah sedang menyiapkan road map pengembangan tanaman kelor selama lima tahun ke depan secara menyebar di provinsi berbasiskan kepulauan itu agar menjadi acuan masyarakat.
Kekuatan ekonomi baru
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Provinsi NTT Wayan Darmawa mengatakan, tanaman kelor akan dikembangkan menjadi salah satu kekuatan ekonomi ke depan di daerah ini.
"Marungga, sesuatu yang duluhnya kita jarang dengar, sekarang mulai dikembangkan sebagai kekuatan ekonomi baru bagi NTT," katanya.
Program pengembangan kelor, sudah masuk dalam kebijakan ekonomi pemerintah provinsi selama lima tahun ke depan di bawah kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef Nae Soi.
Upaya ini diharapkan dapat memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah setempat bisa mencapai lebih dari 9 persen di tahun 2023.
"Tepatnya sesuai analsis statsistik yang kami lakukan bersama BI, pertumbuhan ekonomi NTT mencapai sekitar 10,09 persen di 2023," katanya.
Dari sisi pembanguan berbai aspek, pemerintah provinsi menargetkan akan masuk dalam 10 besar nasional dari posisi saat ini yang masih berada pada peringkat ke-32 dari 34 provinsi se-Indonesia.
Target pertumbuhan ekonomi. tidak hanya sebatas angka namun didukung dengan aksi loncatan pembangunan lintas sektor yang dilakukan, salah satunya berupa pengembangan tanaman kelor.
Selain pengembangan kelor, pemerintah provinsi juga menggenjot sektor-sektor potensial lainnya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi seperti pariwisata, garam, ternak, pertanian, dan lain-lain.
"Jadi jangan hanya dari angkanya tapi aksinya, karena sebuah angka tanpa aksi pasti tidak ada manfaatnya," kata Wayan Darmawa.
Atas dasar alasan tersebut, pemerintahan Viktor-Josef (Viktory Joss) kemudian merintis pengembangan tanaman kelor sebagai program Revolusi Hijau untuk mengurangi stunting dan pohon masa depan bagi Nusa Tenggara Timur.
Artikel - Menanti wujud gerakan Revolusi Hijau di NTT
Jika di Eropa dan Jepang dikenal adanya Revolusi Putih karena penduduknya suka minum susu, maka Nusa Tenggara Timur ingin memperkenalkan kepada dunia tentang Revolusi Hijau melalui tanaman kelor atau marungga.