Semarang (ANTARA) - Salah satu peran pers nasional, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, adalah menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormat kebinekaan.
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, salah satu momentum bagi pers nasional untuk menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa pers betul-betul sebagai pilar keempat demokrasi di samping legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Setiap pesta demokrasi 5 tahunan, insan pers selalu hadir untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui informasi kepemiluan, baik sebelum, pada hari-H, maupun seusai pesta demokrasi.
Seyogianya insan pers tidak sekadar sebagai peliput atau pencatat sejarah kepemiluan di Tanah Air, tetapi turut serta memantau pelaksanaan pesta itu apakah sudah sesuai dengan aturan main atau malah menyimpang dari regulasi.
Terkait dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan, baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, insan pers perlu tajam dalam penganalisisan antara produk hukum satu dan lainnya, termasuk peraturan turunan undang-undang kepemiluan.
Apalagi, wadah berkiprah untuk memantau pelaksanaan pemilu itu pun sudah tersedia. Bahkan, pemantau pemilu ini masuk dalam bab tersendiri, yakni Bab XVI Pemantau Pemilu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Begitu pula pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), termaktub dalam Bab XVII Pemantau.
Meski undang-undang ini mengalami perubahan tiga kali (melalui UU Nomor 8/2015, UU Nomor 10/2016, dan terakhir UU Nomor 6/2020), ada nuansa lain terkait dengan pemberi akreditasi.
Dalam UU Pilkada, organisasi kemasyarakatan pemantau pemilihan dalam negeri dan lembaga pemantau pemilihan asing harus terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.
Sementara itu, aturan main dalam UU Pemilu, pemantau pemilu mengajukan permohonan untuk melakukan pemantauan pemilu dengan mengisi formulir registrasi yang disediakan oleh Bawaslu, bawaslu provinsi, atau bawaslu kabupaten/kota. Ketentuan mengenai tata cara akreditasi pemantau pemilu ini diatur dalam peraturan Bawaslu RI.
Karena aturan main seperti itu, pada pelaksanaan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Semarang dan pilkada di sejumlah daerah pada tahun 2020, Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Provinsi Jawa Tengah mengajukan permohonan untuk melakukan pemantauan pemilu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Semarang dan KPU kabupaten/kota lainnya.
Mappilu PWI Jateng akhirnya mengantongi sertifikat akreditasi dari KPU Kota Semarang. Sertifikat Nomor: 1539/PP.03.2-Kt/3374/KPU-Kot/XII/2020 ditandatangani Ketua KPU Kota Semarang Henry Casandra Gultom tertanggal 2 Desember 2020. Sertifikat akreditasi serupa juga diberikan oleh KPU Kabupaten Kendal.
Agar menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota Mappilu PWI Jateng, Dewan Etik Mappilu PWI Jawa Tengah mengeluarkan Peraturan Dewan Etik Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Jawa Tengah Nomor: 01/DE-Mappilu-PWI-JT/XII/2020.
Keberadaan Kode Etik Mappilu ini demi menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota ketika menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemantau pemilu pemilihan.
Pemilihan yang dimaksud adalah: Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden RI; Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota; serta pemilihan kepala daerah.
Penekanannya dalam kode etik tersebut, antara lain, anggota Mappilu wajib menghargai dan menghormati sesama lembaga pemantau, penyelenggara pemilu, dan pemangku kepentingan setiap pemilihan.
Ketika menjalankan tugas sebagai pemantau pemilihan, tetap menjaga dan memelihara netralitas, imparsialitas atau sikap tidak berpihak, dan asas-asas penyelenggaraan pilkada yang jujur, adil, dan demokratis.
Khusus Pilkada 2020 yang hanya diikuti satu pasangan calon atau paslon tunggal, seperti di Kota Semarang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Sragen, dan di Kabupaten Wonosobo pada tahun 2020, Mappilu ketika itu menunjuk anggotanya untuk melakukan pemantauan pemilihan di dalam tempat pemungutan suara (TPS).
Karena pilkada hanya diikuti satu pasang calon, lembaga pemantau pemilu ini bisa mengajukan keberatan terhadap prosedur pemungutan dan penghitungan suara dan/atau selisih penghitungan suara kepada kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) apabila terdapat hal yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.
Baca juga: Opini - Mengamati koalisi partai politik
Dalam kode etik juga ada larangan anggota Mappilu yang hadir pada rapat pemungutan suara untuk tidak mengenakan atau membawa atribut yang memuat nomor, nama calon, foto pasangan calon, simbol/gambar partai politik, atau mengenakan seragam dan/atau atribut lain yang mencitrakan pendukung atau menolak peserta pemilihan atau kolom kosong.
Kondisi di atas tentu berbeda ketika pilkada diikuti lebih dari satu pasang calon (paslon). Masuk ke dalam TPS saja dilarang, sebagaimana termaktub dalam Pasal 128 UU Pilkada. Bahkan, pengurus lembaga pemantau pemilihan yang melanggar ketentuan larangan tersebut terancam hukuman penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp36 juta dan paling banyak Rp72 juta. (Vide Pasal 187D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016)
Baca juga: Opini - Ancaman pidana mati untuk Ferdy Sambo
Lembaga pemantau pemilihan mempunyai hak berada di lingkungan TPS pada hari pemungutan suara dan memantau jalannya pemungutan dan penghitungan suara. Adapun definisi tempat pemungutan suara (TPS) versi UU Pilkada adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara untuk pemilihan.
Sebaiknya lembaga pemantau pemilu dalam negeri khususnya, baik pada pelaksanaan pilkada dengan hanya satu peserta maupun lebih dari satu paslon, diberi tempat di dalam TPS atau duduk bersebelahan dengan para saksi peserta pilkada.
Lagi pula, lembaga pemantau dari kalangan pers dan lainnya menanggung sendiri semua biaya selama kegiatan pemantauan berlangsung. Mereka secara sukarela ingin mewujudkan penyelenggaraan pemilu/pilkada yang jujur, adil, dan demokratis.
Baca juga: Opini - Quo vadis pers dan jurnalisme di era media sosial
Di lain pihak, yang perlu mendapat perhatian dari pemangku kepentingan pemilu, khususnya pembuat undang-undang, adalah pendaftaran pemantau pemilihan, baik pada pelaksanaan pemilu maupun pilkada, di satu lembaga penyelenggara pemilu: Bawaslu atau KPU.
*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Mappilu PWI Provinsi Jawa Tengah.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jurnalis tak sekadar sebagai pencatat sejarah kepemiluan
Telaah - Jurnalis tak sekadar sebagai pencatat sejarah kepemiluan
...Seyogianya insan pers tidak sekadar sebagai peliput atau pencatat sejarah kepemiluan di Tanah Air, tetapi turut serta memantau pelaksanaan pesta itu apakah sudah sesuai dengan aturan main atau malah menyimpang dari regulasi