Labuan Bajo (ANTARA) - Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur Darius Beda Daton mengingatkan penyelenggara sekolah untuk memahami dengan baik arti pungutan dan sumbangan sesuai dengan syarat dalam aturan pemerintah.
"Pemahaman pihak sekolah yang masih beragam mengenai bentuk partisipasi yang boleh dan tidak boleh menjadi pintu masuk suburnya sumbangan berbau pungutan," kata dia di Kupang, Jumat, (4/8/2023).
Ia mengatakan hal itu berkaitan dengan kunjungan Kepala SMAN 3 Kota Kupang dan para wakil kepala sekolah untuk membicarakan keluhan sejumlah orang tua siswa SMAN 3 Kota Kupang ke Ombudsman NTT tentang sumbangan yang berbau pungutan sejumlah uang oleh komite sekolah.
Besaran pungutan bervariasi yakni kelas X sebesar Rp550 ribu, kelas XI sebesar Rp450 ribu, dan kelas XII sebesar Rp350 ribu yang akan digunakan untuk membangun lapangan basket dan futsal dengan total rencana anggaran belanja (RAB) mencapai hampir Rp500 juta.
Sejumlah orang tua telah menyampaikan keberatan dalam rapat komite dan sekolah dengan pertimbangan membangun fasilitas sekolah guna memenuhi seluruh syarat peningkatan mutu, menjadi kewajiban sekolah/pemerintah dan bukan dibebankan kepada para orang tua.
Namun, keberatan tersebut tidak dipertimbangkan hingga forum rapat tetap memutuskan kewajiban orang tua membayar sesuai jumlah yang telah ditetapkan dan dimulai pada Agustus hingga batas waktu yang ditentukan.
Dia mengatakan pendidikan salah satu jenis layanan dasar yang wajib disediakan negara. Namun demikian, negara tidak memiliki kemampuan pendanaan yang cukup, bahkan setelah konstitusi mengamanatkan alokasi anggaran 20 persen dari total APBN/APBD untuk sektor pendidikan.
Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, dibuka ruang partisipasi masyarakat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Di kedua peraturan ini, pungutan pendidikan adalah penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik, orang tua atau wali murid yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.
Sumbangan, katanya, pemberian berupa uang atau barang atau jasa oleh peserta didik, orang tua atau wali murid, baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, serta tidak mengikat satuan pendidikan.
Darius menerangkan makna mendalam dari frasa partisipasi adalah kesukarelaan peran, sehingga partisipasi orang tua atau masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan harus dimaknai sebagai bentuk kesukarelaan peran karena keterpanggilan, bukan kewajiban apalagi dikaitkan dengan hak-hak siswa atas proses belajar mengajar.
Ketika dilekati sifat bahkan norma kewajiban, kata dia, ada berbagai konsekuensi hukum yang melekat atau bisa dilekati dalamnya, sehingga pemahaman pihak sekolah yang masih beragam mengenai bentuk partisipasi itu dapat menjadi pintu masuk suburnya sumbangan yang berbau pungutan.
Ombudsman NTT meminta kepala sekolah dan jajaran untuk menjadwalkan kembali pertemuan dengan para pengurus komite sekolah untuk menyampaikan regulasi terkait dengan sumbangan dan pungutan yang wajib ditaati komite sekolah.
Baca juga: Ombudsman: Masyarakat Kota Kupang keluhkan kekurangan air bersih
Ia menegaskan bahwa yang dilakukan komite sekolah SMAN 3 Kota Kupang tidak memenuhi kriteria sebagai sumbangan sukarela melainkan pungutan karena besaran uang dan jangka waktu pelunasan telah ditentukan.
Baca juga: Ombudsman NTT terima keluhan warga terkait biaya kuliah Undana
Menurutnya, kesepakatan bersama dalam berita acara tidak bisa dijadikan tameng untuk melakukan pungutan.
"Komite sekolah dilarang melakukan pungutan ke peserta didik kecuali sumbangan sukarela," katanya.