Telaah - Mengenal peribahasa Jawa "Bathok Bolu Isi Madu"

id bathok bolu,filsafat pendidikan,artikel budaya,telaah,opini Oleh Sugiarso

Telaah - Mengenal peribahasa Jawa "Bathok Bolu Isi Madu"

Warga mengambil buah kelapa yang dihanyutkan di sungai Desa Dunggala, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Sabtu (23/12/2023). Warga memanfaatkan aliran sungai untuk mengirimkan kelapa yang dibeli dari pemilik pohon dari kebun untuk menghemat waktu dan tenaga dan kemudian dijual dengan harga Rp2.000 rupiah per buah untuk diolah menjadi produk turunan sabut kelapa, tempurung kelapa dan kopra. ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/aww. (ANTARAFOTO/Adiwinata Solihin)

...Peribahasa "bathok bolu isi madu" ini bukan sekadar sebuah peribahasa semata, namun mengandung nilai-nilai pengetahuan dan peradaban
Bagi pemikir realisme, bathok itu adalah konsep yang nyata. Bathok merupakan bagian sistem perkelapaan. Sebagai sebuah konsep, kata bathok merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu; menjadi alat komunikasi manusia dan memungkinkan manusia berpikir dan menghasilkan gagasan.

Bathok memiliki rentang karakteristik koordinat, superordinat, maupun subordinat. Cikal, krambil, degan, cengkir, bluluk, dan manggar merupakan superordinat dari bathok.

Sementars sepet, air kelapa, daging kelapa, tangkai kelapa, janjang, dan tapas menjadi koordinatnya.

Lubang tiga, tekstur, dan sifat fisik merupakan subordinat dari bathok. Semua superordinat, koordinat, dan subordinat bathok merupakan konsep. Konsep adalah bagian dari bangunan ilmu pengetahuan.

Secara ontologis dan epistemologis, bathok menjadi objek suatu ilmu pengetahuan. Realitas dan hakikat bathok bisa dilihat dari perspektif filsafat ilmu fisika, kimia, biologi, geografi, ekonomi, seni kriya, seni pertunjukan, dan berbagai disiplin ilmu.

Kata cikal, krambil, degan, cengkir, bluluk, dan manggar ini tidak bisa diterjemahkan ke bahasa lain secara tepat karena kata-kata ini adalah konsep-konsep.

Ini membuktikan setiap kata dalam kehidupan bermasyarakat adalah ilmu. Bathok-nya sendiri menjadi bagian utama peralatan rumah tangga, mulai peralatan dapur, seni, ritual, dan perdagangan. Beruk adalah sebuah ukuran volume, biasanya beras, namun bisa juga kedelai, atau kacang, yang dibuat dengan menggunakan bathok kelapa. Taksiran 1 beruk beras kurang lebih setara 1 kg beras.


Filsafat idealisme

Filsafat idealisme menghubungkan bathok sebagai bagian integral peradaban kelapa dengan gagasan dan ide yang berangkat dari kelapa.

Ungkapan orang yang jelek fisiknya, namun berkualitas isinya (baik), diungkapkan dengan peribahasa "bathok bolu isi madu". Ini terkait dengan pembacaaan masyarakat atas realistas bathok.

Frasa bathok bolu, adalah persepsi dan idealisme masyarakat berbasis kelapa tentang status bathok bolu dibandingkan dengan madu.

Bathok bolu itu dinilai sebagai bathok yang jelek. Sifatnya dalam dunia perbathokan menempati posisi rendah.

Kelas pertama adalah bathok utuh tanpa lubang, yang bisa dipakai untuk berbagai keperluan, seperti mengambil air, tempat makan ayam, ataupun tempat wadah lainnya.

Bathok bolu secara fisik mirip dengan mulut monyet dan dua mata monyet, sehingga kadang bisa dipakai sebagai topeng untuk pertunjukan atau permainan anak-anak.

Bathok bolu isi madu merupakan refleksi ide masyarakat untuk mengungkapkan persepsi dan gagasan tentang konsep fisik dan isi, dimensi luar dan dalam.

Bathok bolu isi madu sebagai filsafat idealisme memiliki tiga pemikiran. Pertama, secara umum tampilan fisik itu memberikan impresi. Tatkala melihat tampilan fisik bagus, seseorang juga langsung berpikir bagus. Dimensi dalam atau isi tidak bisa dilihat secara fisik, sehingga tidak ternilai oleh seseorang.

Dimensi dalam atau isi baru diketahui ketika terjadi interaksi dan bersosialisiasi. Kesan fisik hadir lebih dahulu baru diikuti kesan isi.

Kedua, sering interaksi dan sosialisasi berlangsung, dimensi isi menjadi penilaian lebih utama daripada dimensi fisik.

Ungkapan bathok bolu isi madu ini menggambarkan telah terjadinya interaksi dan sosialisasi, sehingga menyintesiskan dua dimensi yang berbeda, fisiknya jelek, namun isinya baik.

Tatkala kedua dimensi ini realiatasnya berbeda, masyarakat kemudian lebih memberikan nilai kepada isi daripada tampilan luar.

Ketiga, apresiasi, penghargaan, dan posisi itu ditentukan lewat proses pembuktian dan proses waktu. Tentu saja hadirnya bukti yang kurang frekuensinya belum bisa meyakinkan masyarakat tentang kualitas. Karena itu butuh frekuensi yang lebih sering.

Menghadirkan bukti lebih sering ini membutuhkan waktu dan konsistensi. Ini membuktikan bahwa masyarakat itu menekankan pentingnya prestasi, proses, konsistensi, dan harmoni.


Perspektif filsafat pendidikan