Opini - Merawat Bumi, tanah, dan air ala Kung fu Panda
Oleh Lady Hafidaty R.K., S.Si., M.Si dan Dr. Destika C.
...Kearifan lokal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, dan pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan komunitas ekologis
Tentu gambaran hamparan bambu pada serial Kung Fu Panda dapat memberi gambaran fungsi ekologis bambu. Hamparan bambu menjadi tempat para master Kung Fu berlatih.
Hutan bambu terasa damai dan menenangkan, sekaligus menjadi tempat pertumbuhan dan pembelajaran bagi Po karena memang hutan bambu memiliki suhu yang lebih sejuk dibandingkan daerah terbuka.
Secara fungsi ekologis, pembentukan hutan bambu atau agroforestry dengan bambu di daerah-daerah tertentu dapat membantu menjaga kestabilan ekosistem dan siklus hidrologis.
Hutan bambu berfungsi sebagai buffer (penyangga) alami yang mengurangi tekanan air dan membantu mengatur aliran air sehingga mengurangi risiko banjir dan kekeringan.
Penyaringan bambu terhadap air dapat menjaga kebersihan sumber air. Pada gilirannya membantu mencegah penyakit terkait air. Oleh sebab itu, sangat baik menanam bambu di sekitar sumber air.
Di Indonesia, lokasi hutan bambu berada di beberapa tempat, antara lain, Hutan Bambu di Surabaya, Hutan Bambu Sumbermujur di Lumajang, Hutan Bambu Klatakan di Magelang.
Demikian pula di Bali juga terdapat Hutan Bambu, tepatnya di Desa Panglipuran, sebuah desa adat yang berada di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa ini dapat ditempuh sekitar 45 kilometer dari pusat Kota Denpasar.
Indonesia memiliki modal untuk kembali mengembangkan bambu karena memiliki kearifan lokal yang lekat dengan tanaman ini.
Kearifan lokal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, dan pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan komunitas ekologis.
Pada masyarakat Bali, tanaman bambu lestari berkat adanya Konsep Tri Hita Karana dalam ajaran agama Hindu Bali yang dianut mayoritas penduduknya.
Konsep Tri Hita Karana adalah konsep berdasarkan filosofi kehidupan tangguh masyarakat Hindu Bali mengenai keseimbangan hubungan vertikal, yakni dengan Tuhan, serta hubungan horizontal, yakni antar manusia dan lingkungannya.
Di Desa Palingpuran seluas kurang lebih 112 hektare, masyarakat menjaga kelestarian hutan bambu selama ratusan tahun. Masyarakat menyadari ragam manfaat dari bambu sehingga bambu pun menjadi salah satu kearifan lokal yang masih dipertahankan hingga kini.
Termasuk manfaat hutan bambu sebagai kesiapsiagaan bencana dan sebagai daerah tangkapan air.
Bahkan, terdapat kesepakatan bersama (awig-awig) dalam bahasa setempat, yang menjadikan hutan bambu seluas 45 hektare di utara desa.
Menariknya, selain sebagai penyeimbang ekosistem di Desa Panglipuran, hutan bambu sebanyak 14 jenis di desa tersebut, menjadi daya tarik menarik wisatawan. Butuh 1 jam untuk menuju hutan bambu dengan berjalan kaki.
Baca juga: Opini - Kabinet zaken untuk pemerintahan baru Indonesia
Namun, bersepeda juga dapat dilakukan melalui jalur trekking. Harmoni berupa gemericik helai dedaunan dan batang bambu dapat dinikmati wisatawan. Keasrian lokasi pun dapat pula menjadi obyek favorit yang instagramable, dan kecantikan lokasi pun sering dijadikan latar foto pre-wedding.
Tentu bukan hal mustahil, dengan melihat aneka ragam manfaat bambu itu, bangsa Indonesia dapat kembali memperluas penanaman bambu.
Baca juga: Opini - Belajar cara olah tumbuhan obat dari masyarakat Wawsano NTT
Baca juga: Opini - Besarnya nilai ekonomi dan kesehatan pada daun kelor
Penanaman bambu guna keberlanjutan ekologis habitat dan mencegah bencana seperti banjir, erosi, longsor, dan kekeringan idealnya harus didukung bersama.
Tak kalah penting, bambu juga dapat mendatangkan manfaat ekonomi bagi warga desa selain manfaat ekologis dengan konsep ekowisata hutan bambu.
*) Penulis adalah Peneliti di Kementerian Pertanian (Kementan) dan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Merawat Bumi, tanah, dan air ala Kung Fu Panda
Hutan bambu terasa damai dan menenangkan, sekaligus menjadi tempat pertumbuhan dan pembelajaran bagi Po karena memang hutan bambu memiliki suhu yang lebih sejuk dibandingkan daerah terbuka.
Secara fungsi ekologis, pembentukan hutan bambu atau agroforestry dengan bambu di daerah-daerah tertentu dapat membantu menjaga kestabilan ekosistem dan siklus hidrologis.
Hutan bambu berfungsi sebagai buffer (penyangga) alami yang mengurangi tekanan air dan membantu mengatur aliran air sehingga mengurangi risiko banjir dan kekeringan.
Penyaringan bambu terhadap air dapat menjaga kebersihan sumber air. Pada gilirannya membantu mencegah penyakit terkait air. Oleh sebab itu, sangat baik menanam bambu di sekitar sumber air.
Di Indonesia, lokasi hutan bambu berada di beberapa tempat, antara lain, Hutan Bambu di Surabaya, Hutan Bambu Sumbermujur di Lumajang, Hutan Bambu Klatakan di Magelang.
Demikian pula di Bali juga terdapat Hutan Bambu, tepatnya di Desa Panglipuran, sebuah desa adat yang berada di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa ini dapat ditempuh sekitar 45 kilometer dari pusat Kota Denpasar.
Indonesia memiliki modal untuk kembali mengembangkan bambu karena memiliki kearifan lokal yang lekat dengan tanaman ini.
Kearifan lokal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, dan pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan komunitas ekologis.
Pada masyarakat Bali, tanaman bambu lestari berkat adanya Konsep Tri Hita Karana dalam ajaran agama Hindu Bali yang dianut mayoritas penduduknya.
Konsep Tri Hita Karana adalah konsep berdasarkan filosofi kehidupan tangguh masyarakat Hindu Bali mengenai keseimbangan hubungan vertikal, yakni dengan Tuhan, serta hubungan horizontal, yakni antar manusia dan lingkungannya.
Di Desa Palingpuran seluas kurang lebih 112 hektare, masyarakat menjaga kelestarian hutan bambu selama ratusan tahun. Masyarakat menyadari ragam manfaat dari bambu sehingga bambu pun menjadi salah satu kearifan lokal yang masih dipertahankan hingga kini.
Termasuk manfaat hutan bambu sebagai kesiapsiagaan bencana dan sebagai daerah tangkapan air.
Bahkan, terdapat kesepakatan bersama (awig-awig) dalam bahasa setempat, yang menjadikan hutan bambu seluas 45 hektare di utara desa.
Menariknya, selain sebagai penyeimbang ekosistem di Desa Panglipuran, hutan bambu sebanyak 14 jenis di desa tersebut, menjadi daya tarik menarik wisatawan. Butuh 1 jam untuk menuju hutan bambu dengan berjalan kaki.
Baca juga: Opini - Kabinet zaken untuk pemerintahan baru Indonesia
Namun, bersepeda juga dapat dilakukan melalui jalur trekking. Harmoni berupa gemericik helai dedaunan dan batang bambu dapat dinikmati wisatawan. Keasrian lokasi pun dapat pula menjadi obyek favorit yang instagramable, dan kecantikan lokasi pun sering dijadikan latar foto pre-wedding.
Tentu bukan hal mustahil, dengan melihat aneka ragam manfaat bambu itu, bangsa Indonesia dapat kembali memperluas penanaman bambu.
Baca juga: Opini - Belajar cara olah tumbuhan obat dari masyarakat Wawsano NTT
Baca juga: Opini - Besarnya nilai ekonomi dan kesehatan pada daun kelor
Penanaman bambu guna keberlanjutan ekologis habitat dan mencegah bencana seperti banjir, erosi, longsor, dan kekeringan idealnya harus didukung bersama.
Tak kalah penting, bambu juga dapat mendatangkan manfaat ekonomi bagi warga desa selain manfaat ekologis dengan konsep ekowisata hutan bambu.
*) Penulis adalah Peneliti di Kementerian Pertanian (Kementan) dan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Merawat Bumi, tanah, dan air ala Kung Fu Panda