Jakarta (ANTARA) - Tidak dapat dipungkiri bahwa belakangan ini banyak berita perekonomian Indonesia yang membuat “kewalahan” publik dan pasar.
Meskipun terdapat beberapa berita baik seperti surplusnya neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2025 sebesar 3,12 miliar dolar AS, serta terjadi peningkatan pada ekspor barang, respons pasar yang lebih luas tidak dapat ditutupi.
Mulai dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat melorot lebih dari 6 persen, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri padat karya, hingga proyeksi jumlah pemudik angkutan Lebaran Idul Fitri 2025 yang diprediksi turun dibandingkan di tahun sebelumnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, respons pasar ini merupakan bentuk atau dinamika terkait dengan kepercayaan publik terhadap rangkaian kebijakan pemerintah yang diambil dalam beberapa waktu ke belakang.
“Masyarakat dan pelaku usaha khususnya investor itu pasti akan memperhatikan berbagai macam perkembangan yang akan mempengaruhi keselamatan investasinya,” kata Faisal.
Ia mencontohkan, dengan banyaknya penarikan saham dan penurunan yang berakibat pada penurunan IHSG, sebetulnya menunjukkan bahwa pelaku pasar melihat adanya peningkatan risiko yang dinilai dapat mempengaruhi investasi mereka. Terlebih, kondisi atau perkembangan negara-negara lain dari sisi dari pasar saham, terutama di negara-negara Asia Timur, relatif stabil.
Alih-alih mencari siapa pihak yang salah, alangkah lebih bijak jika ini dilihat sebagai sebuah alarm -- peringatan terkait kondisi di dalam negeri -- terlebih dahulu.
“Dan kalau kita melihat dari berbagai macam kebijakan pemerintah, memang wajar kemudian untuk pelaku pasar ini khawatir. Mulai dari defisit APBN, pemangkasan atau efisiensi anggaran, lalu juga bagaimana move kebijakan yang dilakukan pemerintah, termasuk pendirian Danantara yang dipertanyakan dari sisi tata kelola,” kata Faisal.
Menurut Faisal, pembentukan tim kabinet yang begitu besar juga dilihat pasar risiko.
Transparan dan empatik
Di sisi lain, kepercayaan merupakan hal vital dalam dunia perekonomian.
Seperti yang disuarakan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum), kepercayaan penting bagi sebuah negara agar memiliki kredibilitas yang dibutuhkan untuk mengubah insentif ekonomi beserta perilaku bisnis dan masyarakat. Sementara, ketidakpercayaan dapat merugikan, bahkan dalam menghadapi kebijakan publik yang cukup berani.
“Kepercayaan dan etika pada dasarnya penting untuk membangun kerja sama ekonomi dalam segala bentuknya. Negara-negara perlu saling percaya untuk membuat perjanjian internasional. Pemerintah juga memerlukan kepercayaan dan dukungan dari warga negaranya terkait perjanjian ini,” demikian catatan dari Forum Ekonomi Dunia.
Kepercayaan yang bakal mendorong pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan melalui berbagai cara, termasuk perdagangan internasional dan pengembangan keuangan.
Kepercayaan terhadap pasar dan sistem keuangan diharapkan dapat menarik investasi yang lebih besar. Selain itu, kepercayaan dapat meningkatkan inovasi, pertumbuhan rasio kewirausahaan, dan produktivitas perusahaan, yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi negara.
Untuk membangun atau pun membangun kembali kepercayaan yang mungkin sedikit memudar, tak hanya memerlukan kebijakan yang bersifat teknis, tapi juga pendekatan yang lebih empatik dan terbuka kepada pasar dan masyarakat — pihak-pihak yang merasakan langsung dampak dari regulasi yang dihadirkan pemerintah.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, penurunan kepercayaan yang cukup terlihat belakangan ini bisa saja dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dilakukan kurang partisipatif dan transparan.
“Untuk itu, pertama, kita harus mengembalikan lagi partisipasi dari publik, transparansi menjadi penting. (Jika tidak dilakukan demikian), itu akan menimbulkan spekulasi (negatif) di pasar keuangan. Ini tidak boleh terjadi lagi,” kata Bhima.
Bhima menilai, setiap kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah, baik regulasi undang-undang atau pun regulasi teknis di level pemerintahan harus dilakukan secara terbuka dan transparan, serta dapat mengkomunikasikannya dengan baik kepada publik.
Dengan itu, diharapkan semua orang bisa melihat dan memberikan rekomendasi dan masukan yang sesuai dan penuh pertimbangan serta kehati-hatian.
“Selama kebijakan dibuat secara tertutup, tentu akan terjadi spekulasi-spekulasi yang mendistorsi pasar,” ujar dia.
Target besar Indonesia
Indonesia dalam Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memasang target yang cukup tinggi terkait dengan pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 8 persen.
Untuk mencapai target yang tinggi, tentu diperlukan strategi yang tepat dan nilai kepercayaan yang tak kalah tingginya.
Survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) baru-baru ini mencatat beberapa kebijakan yang dinilai mampu memberikan dampak positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Beberapa di antaranya adalah diskon tarif listrik (40,5 persen), penghapusan utang macet usaha mikro, kecil, dan menengah (31,0 persen), hingga kebijakan kenaikan upah minimum dan kebijakan pajak pertambahan nilai/PPN (26,2 persen).
Sementara itu, keputusan Prabowo mendaftar ke dalam anggota BRICS dinilai berdampak bagi perekonomian oleh 9,5 persen responden. Sedangkan kebijakan efisiensi anggaran dan diskon tiket liburan dianggap kurang berdampak, dengan persentase masing-masing 2,4 persen responden.
Meski demikian, optimisme tetap harus ada seiring dengan kepedulian, rekomendasi, dan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
“Kalau dikaitkan dengan target ke depan yang memang sangat besar, bukan berarti tidak mungkin dicapai, tapi dilihat dari bagaimana cara mencapainya — apakah cara mencapainya merupakan sesuatu terobosan yang di luar kebiasaan tanpa meningkatkan risiko,” kata Faisal.
Perencanaan kebijakan dan koordinasi besar sekali dampaknya, kata Bima, sehingga koordinasi kebijakan menjadi hal yang urgent. "Kalau itu bisa dilakukan … mungkin butuh waktu, tapi itu salah satu jalan untuk mengembalikan trust ke pemerintah,” katanya.
Karena pada akhirnya, kebijakan berbasis ilmu dan empati hadir dari kesediaan untuk mendengar, alih-alih menganggapnya sebagai sebuah gonggongan semata.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membangun kembali kepercayaan demi target besar perekonomian