Masyarakat Adat Dilibatkan Dalam Sengketa Perbatasan

id Sengketa

Masyarakat Adat Dilibatkan Dalam Sengketa Perbatasan

Masyarakat adat perlu dilibatkan dalam penyelesaian sengketa tapal batas antara Indonesia dan Timor Leste

Pemerintah menempatkan diri sebagai fasilitator dan memberikan ruang bagi masyarakat adat di kedua wilayah perbatasan untuk menyelesaikan dengan hukum adatnya.
Kupang (Antara NTT) - Pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr DW Thadeus mengatakan masyarakat adat harus dilibatkan dalam penyelesaian sengketa tapal batas antara Indonesia dan Timor Leste.

"Pemerintah pusat boleh berperan sebagai fasilitator dalam penyelesaian persoalan perbatasan dengan negara Timor Leste, namun perlu memberikan ruang yang penuh kepada masyarakat adat untuk menyelesaikannya," katanya kepada Antara di Kupang, Selasa.

Menurut dia, pemerintah menempatkan diri sebagai fasilitator dan memberikan ruang bagi masyarakat adat di kedua wilayah perbatasan untuk menyelesaikan dengan hukum adatnya.

Tadeus mengatakan pemerintah Indonesia dan Timor Leste boleh saja melakukan diplomasi secara politik terkait persoalan perbatasan.

Namun demikian, menurut dosen Fakultas Hukum Undana itu, penyelesaian sengketa perbatasan secara politik tidak boleh lari dari substansi pembahasannya.

"Subastansi yang dimaksud, kalau secara adat masyarakat mempunyai pilihan hukum sendiri dengan cara mereka maka serahkan kepada kedua masyarakat," katanya.

Dia mengatakan, kalau persoalan perbatasan negara pada akhirnya memperoleh keputusan bahwa wilayah sengketa harus dikelola secara bersama-sama berarti persoalan belum selesai.

Menurutnya, solusi yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution) terkait persoalan perbatasan tidak lantas membagi wilayah tersebut menjadi dua bagian yang sama.

"Win-win solution itu bisa berarti bahwa kita sebagai negara yang lebih besar harus mendapat porsi wilayah yang besar sementara Timor Leste lebih kecil," katanya.

Dia mengakui, penyelesaian masalah perbatasan memang tidak bisa dipaksakan agar cepat dituntaskan tetapi mengorbankan kepentingan yang lebih besar karena hal ini berkaitan dengan kedaulatan negara.

"Kepentingan masyarakat di perbatasan tidak boleh dikorbankan. Terlebih lagi hilangnya sebuah wilayah itu berkaitan dengan hilangnya kedaulatan negara," katanya pula.

Meskipun demikian, katanya, tidak juga terus mengulur-ulur waktu karena hanya akan mempersulit interaksi masyarakat di daerah perbatasan yang sejatinya memiliki hubungan kedekatan adat dan budaya.

"Pemerintah juga jangan terlalu lama menunggu namun harus pro-aktif untuk menyelesaikannya," demikian DW Thadeus.