Kupang, NTT (ANTARA) - Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Melki Laka Lena menyebutkan bahwa sebanyak 70 persen warga binaan pemasyarakatan (WBP) di seluruh lapas provinsi tersebut umumnya merupakan pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Seturut data Kanwil Ditjenpas NTT, sebanyak 70 persen napi di lapas NTT yang masuk umumnya karena kasus hukum kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Gubernur Melki di Kupang, Senin.
Ia menyampaikan hal tersebut kepada Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Agus Andrianto dalam acara hybrid puncak perayaan Hari Bhakti Pemasyarakatan (HBP) ke-61.
Pada kesempatan itu, NTT menjadi satu dari tiga perwakilan dari seluruh Kanwil Ditjenpas di tanah air yang berkesempatan untuk berinteraksi dan berdiskusi dengan Menteri Imipas Agus.
Lebih lanjut, Melki menyebutkan bahwa saat ini Forkopimda dan seluruh jajaran pemerintah setempat mulai fokus untuk menangani dan menurunkan persentase kasus kekerasan tersebut.
“Ini kondisi yang sangat serius di NTT, sehingga harus kita tangani bersama-sama. Supaya ke depannya situasi ini bisa dikendalikan, agar perempuan dan anak-anak di NTT bisa hidup di tengah masyarakat yang aman, damai, dan inklusi,” kata dia.
Sebagai tanggapan atas hal tersebut, Menteri Agus mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kapolda dalam mengatasi permasalahan KDRT dan tindak asusila yang menjadi problem aktual di NTT.
Ia juga meminta Kanwil Ditjenpas NTT untuk merekap data-data terkait yang bisa menjadi masukan dalam rangka meninjau akar persoalan tingginya kasus tersebut di wilayah NTT.
“Penanganan ini perlu menjadi sasaran bersama, sehingga bisa mengurangi dan mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di NTT,” kata dia.
Pada kesempatan itu, Agus turut mengapresiasi kinerja Kanwil Ditjenpas NTT yang telah memprioritaskan program pendidikan bagi warga binaan baik melalui kelas belajar maupun PKBM di lapas anak.
Pihaknya berkomitmen untuk mendukung kegiatan pelatihan kepada para WBP karena rata-rata di usia yang produktif, sehingga dapat menjadi bekal ilmu saat sudah kembali bersosial di tengah masyarakat.