Kupang (ANTARA) - Dalam sebuah negara demokrasi yang menganut sistem presidensial seperti di Indonesia saat ini, kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif. Artinya, presiden harus dijamin memiliki kewenangan legislatif oleh UUD atau konstitusi.
Dalam sistem presidensial atau sering disebut juga dengan sistem kongresional ini, presiden secara bersamaan menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dan dalam jabatannya ini mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait untuk duduk dalam kabinet.
Presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif, seperti rendahnya dukungan politik, namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden, jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan.
Menurut pengamat politik Aris Kurniawan, sistem presidensial ini tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang secara ideal diformulasikan sebagai Trias Politica oleh Montesquieu.
Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial, para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Bila presiden diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
Ciri-ciri pemerintahan presidensial, kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat. Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan eksekutif (bukan kepada kekuasaan legislatif). Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangung jawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer, karena parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan.
Negara-negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial ini, seperti Amerika Serikat, Filipina, Brazil, Mesir, Argentina, dan Indonesia. Namun, Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial tidak akan sama persis dengan sistem pemerintahan presidensial yang berjalan di Amerika Serikat.
Bahkan, negara-negara tertentu memakai sistem campuran antara presidensial dan parlementer (mixed parliamentary presidential system). Contohnya, Prancis sekarang ini. Negara tersebut memiliki presiden sebagai kepala negara yang memiliki kekuasaan besar, tetapi juga terdapat perdana menteri yang diangkat oleh presiden untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Banyak mengadobsi
Sebagai negara dengan sistem presidensial, Indonesia banyak mengadopsi praktik-praktik pemerintahan di Amerika Serikat. Misalnya, pemilihan presiden langsung dan mekanisme "cheks and balance". Konvensi Partai Golkar menjelang pemilu 2004 juga mencontoh praktik konvensi di Amerika Serikat.
Namun, tidak semua praktik pemerintahan di Indonesia bersifat tiruan semata dari sistem pemerintahan Amerika Serikat. Contohnya, Indonesia mengenal adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan di Amerika Serikat tidak ada lembaga semacam itu.
Di sisi lain, Indonesia juga negara yang berbentuk republik. Pemerintahan republik adalah suatu pemerintahan di mana seluruh atau sebagian rakyat memegang kekuasaan yang tertinggi di dalam negara. Oleh karena itu, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar (UUD).
Namun, pada masa Orde Baru, ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hampir semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat.
Karena itu, tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden menjadi sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan.
Namun, dalam kaitan dengan pemberian jatah menteri oleh presiden kepada partai politik, apakah Megawati Soekarnoputri dinilai salah menekan Presiden Jokowi soal jatah kursi menteri tersebut?
Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Dr. Marianus Kleden menilai Megawati Soekarnoputri dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan telah melakukan kesalahan dengan menekan Jokowi dalam meminta jatah menteri untuk partai berlambang banteng gemuk dalam lingkaran itu.
"Menurut saya, Megawati telah melakukan kesalahan dengan menekan Jokowi dalam kongres di Bali, saat beliau terkesan goyun meminta jatah kursi menteri, karena partai yang dipimpinnya menang dalam hajatan politik Pemilu 2019," kata dia.
Joko Widodo (Jokowi) sebagai orang Solo yang dibesarkan PDIP mungkin agak salah tingkah, tetapi Jokowi juga punya gaya sendiri untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai presiden saat menjawab permintaan Megawati.
Pengamat politik lainnya, Mikhael Rajamuda Bataona, dari Unwira Kupang malah menilai bahwa permintaan Megawati soal jatah menteri itu membuktikan bahwa Megawati Soekarnoputri sendiri tidak bisa mendikte Presiden Joko Widodo.
"Jika dibaca secara semiotik, pernyataan Megawati justru mengonfirmasi sebuah anomali komunikasi. Jika selama ini semua orang berpikir bahwa Megawati bisa mendikte Jokowi, maka ini menjadi bukti bahwa Jokowi ternyata tidak bisa didikte, bahkan oleh Megawati sekalipun," kata dia.
Akibat kesulitan dalam mendikte Jokowi itulah, yang membuat Megawati lalu sengaja membuka permintaan soal jatah menteri untuk PDIP secara terbuka dalam forum kongres PDIP.
Apa yang dikatakan Megawati itu bisa dinilai sebagai sebuah konfirmasi psikologis, akan kerisauan Megawati tentang derasnya arus tekanan ke Jokowi dari semua ketua umum partai soal jatah menteri untuk anggota koalisi.
"Inilah yang membuat Megawati membuat semacam contra opinion untuk mengimbangi manuver partai-partai tersebut. Caranya adalah dengan menggunakan guyon sarkastis di hadapan para tamu, termasuk para ketua umum partai, bahwa PDIP sebagai partai pemenang harusnya punya jatah menteri lebih banyak," kata Rajamuda Bataona.
Artinya secara semiotik, bisa dibaca bahwa permintaan jatah menteri dari Megawati adalah semacam konfirmasi bahwa Jokowi justru sulit ditekan bahkan oleh Mega sekalipun. Dengan demikian, Megawati yang adalah bos partai di mana Jokowi adalah petugas partai pun harus menggunakan forum kongres untuk mengunci Jokowi.
Pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu, mengatakan Megawati hanya mau memberi pesan tegas ke Jokowi bahwa Jokowi harus memperhatikan PDIP karena partai ideologis itu sudah berdarah-berdarah berjuang memenangkan Jokowi.
Namun, sikap politik yang ditunjukkan Megawati itu justru dinilai hanya merusak watak sistem pemerintahan yang menganut presidensial. "Ramai-ramainya parpol meminta kursi menteri, ini sesungguhnya sikap merusak watak presidensial dari kabinet kita," kata Marianus Kleden.
Menurut dia, kekuasaan parpol sesungguhnya confined within the boundaries of parliament. "Kalau parpol melanggar justru dia merusak tatanan negara," katanya.
Dan, apakah hanya karena kondisi ini, Ibu Mega kemudian dinilai salah dalam meminta jatah kursi menteri? Di sinilah Jokowi diminta harus tampil sebagai strong president layaknya Bung Karno dan Soeharto yang tidak mau dirinya diintervensi oleh partai.
Indonesia pernah punya pengalaman buruk dengan kabinet parlementer, dan Jokowi akan kesulitan mengendalikan kabinetnya bila partai-partai terus merengek minta kursi kabinet.
Artikel - Benarkah Megawati keliru menekan Jokowi?
Indonesia pernah punya pengalaman buruk dengan kabinet parlementer, dan Jokowi akan kesulitan mengendalikan kabinetnya bila partai-partai terus merengek minta kursi kabinet.