Kupang (ANTARA) - Pengamat Politik dari Universitas Muhammadyah Kupang Dr Ahmad Atang MSi melihat ada lima faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya pisah ranjang atau pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah pada setiap momentum pilkada.
"Faktor pertama adalah adanya kawin paksa yang dilakukan oleh partai koalisi, sehingga dalam perjalanan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak memiliki visi yang sama dalam membangun daerah lagi," kata Ahmad Atang di Kupang, Rabu (13/11).
Dia mengemukakan hal itu dalam percakapannya dengan ANTARA, berkaitan dengan fenomena pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah pada setiap hajatan politik lima tahunan dalam musim pilkada.
Baca juga: Figur Cangkokan Mudah Pisah Ranjang
Faktor kedua, kata Ahmad Atang adalah adanya perbedaan kepentingan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah selama memangku jabatan tertinggi di daerah.
Ketiga, distribusi kekuasaan yang tidak merata antara kepala daerah dan wakil kepala daerah sehingga menempatkan posisi wakil kepala daerah tidak lebih dari ban seref.
"Jadi kekusaan itu secara penuh hanya berada di tangan kepala daerah selama menjabat, dan wakil hanya ban seref yang hanya dibutuhkan jika diperlukan," katanya.
Keempat, orientasi kekuasaan, dimana wakil kepala daerah memiliki keterbatasan kekuasaan, maka cara untuk meraih kekuasaan adalah dengan menduduki jabatan sebagai bupati. "Ini menjadi orientasi untuk pecah kongsi," katanya.
Faktor kelima adalah tidak adanya kerja sama antara kepala daerah dan wakil kepala daerah selama menjabat akibat konflik terbuka maupun tertutup, dan fenomena pisah ranjang ini merupakan hal baru dalam dinamika politik lokal, dan sah-sah saja.