Kupang (ANTARA) - Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tuba Helan, SH, MHum mengatakan, konflik yang terjadi di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya bisa diselesaikan melalui pendekatan adat.
"Pendekatan adat merupakan cara efektif yang mesti ditempuh pemerintah setempat, karena masyarakat di Adonara masih memegang teguh pendekatan adat, dan bukan pendekatan diluar itu," kata Johanes Tuba Helan kepada Antara di Kupang, Sabtu (7/3).
Tuba Helan yang juga putra asli Adonara mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan konflik antarsuku maupun antardesa di Pulau Adonara hanya karena masalah lahan sepotong, yang kemudian berakhir denga aksi baku bunuh.
Aksi baku bunuh ini merupakan jalan terakhir bagi para pihak yang bersengketa untuk mencari kebenaran. Siapa yang mati dalam dalam perang tanding tersebut berarti dia berada pada pihak yang salah.
Itulah cara orang Adonara memeteraikannya untuk mencari sebuah kebenaran yang hakiki. Karena itu, penyelesaian melalui pendekatan adat merupakan pilihan yang ideal, ketimbang melalui hukum positif.
Konflik terakhir adalah kasus tanah Wulen Wata yang melibatkan suku Kwaelaga dengan suku Lamatokan di Desa Sandosi dan Desa Tobitika, Kecamatan Witihama yang menewaskan enam orang pada Kamis (5/3).
"Secara pribadi, saya merasa prihatin terkait konflik antarsuku mengenai batas tanah di Adonara Timur sampai memakan korban jiwa," kata mantan Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT-NTB itu..
Menurut dia, konflik antarsuku ini memang seringkali terjadi di daerah itu, sehingga perlu dicarikan solusi terbaik agar ke depan tidak terjadi lagi.
Dia mengatakan, solusi terbaik adalah pemerintah perlu memfasilitasi, dengan mempertemukan kedua belah pihak untuk dimintai pendapat dengan tawaran paling ideal yang bisa diterima kedua pihak.
Pertemuan itu, kata dia, tentu menghadirkan tokoh adat dari desa lain yang tidak berkonflik, atau dari tokoh adat suku yang netral dari desa lain.
"Jadi pendekatan adat merupakan cara efektif yang mesti ditempuh pemerintah setempat. Masyarakat di Adonara masih memegang teguh pendekatan adat dan bukan pendekatan hukum positif," katanya.
Menurut dia, di Adonara itu ada Suku Demon dan Paji yang saling berlawanan, sehingga diperlukan pihak mediator atau penyelesaian secara adat dari tokoh adat desa lain sebagai pihak yang netral.
Belum efektif
Sesuai pengamatannya, penyelesaian konflik antarsuku soal batas tanah yang terjadi di Adonara selama ini oleh pemerintah kabupaten, kecamatan maupun desa, belum dilakukan secara efektif.
Untuk itu, solusi yang bisa ditawarkan adalah penyelesaian sesuai adat setempat dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Flores Timur dalam mengukur dan menertibkannya.
Hampir sebagian besar lahan di Pulau Adonara tidak bersertifikan, sehingga orang hanya mengklaim lahan kepemilikannya dari batas pohon atau batu yang ada di sekitar lahan.
Jika orang dengan sembarangan mengklaim lahan sebagai miliknya maka dia akan berhadapan dengan maut.
"Jadi pendekatan adat dalam penyelesaian suatu konflik, menurut saya sangat efektif. Dan ini perlu dipikirkan pemerintah karena tiap daerah memiliki kearifan lokal dalam upaya menyelesaikan konflik," kata Tuba Helan.
Dia menambahkan, tugas pemerintah adalah mencegah terjadi konflik berkelanjutan, sehingga perlu mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik, sambil menawarkan solusi soal kehadiran pihak ketiga dalam hal ini tokoh adat dari desa atau suku lain yang tidak terlibat konflik.
"Jika kedua belah pihak menyetujui, maka dihadirkan tokoh dari desa lain untuk mereka sama-sama selesaikan. Pemerintah cuma memfasilitasi dan bukan terlibat menyelesaikan," demikian Johanes Tuba Helan.
Konflik di Adonara hanya bisa diselesaikan melalui pendekatan adat
"Konflik yang terjadi di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya bisa diselesaikan melalui pendekatan adat," kata Johanes Tuba Helan.