Akademisi: pilkada melahirkan banyak masalah lokal

id pilkada 2020,ntt,pilkada,pilkada serentak

Akademisi: pilkada melahirkan banyak masalah lokal

Akademisi dari UMK, Dr. Ahmad Atang, MSi. (ANTARA/Bernadus Tokan)

Selain melahirkan dikotomi putra daerah dan non putra daerah dan kekuasaan lokal yang melanggengkan politik dinasti
Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr. Ahmad Atang, MSi mengatakan, praktik pilkada memang melahirkan banyak problem lokal berupa bangkitnya politik identitas yang berbasis etnis dan agama sehingga berdampak pada aspek pembangunan demokrasi.

Selain melahirkan dikotomi putra daerah dan non putra daerah dan kekuasaan lokal yang melanggengkan politik dinasti, kata Ahmad Atang kepada ANTARA di Kupang, Kamis, (10/9).

Dia mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan harapan Presiden Jokowi agar pilkada tidak hanya memenuhi asas demokrasi prosedural namun perlu ditingkatkan aspek substansi demokrasi.

Menurut dia, pilkada merupakan instrumen demokrasi lokal, sehingga kualitas demokrasi nasional sangat tergantung pada tumbuh dan berkembangnya demokrasi lokal.

"Tetapi praktik pilkada melahirkan banyak problem lokal berupa bangkitnya politik identitas yang berbasis etnis dan agama, dikotomi putra daerah dan non putra daerah, kekuasaan lokal yang melanggengkan politik dinasti dan seterusnya," katanya.

Fenomena ini bukan menciptakan kualitas demokrasi melalui pilkada akan tetapi justru memundurkan demokrasi.

Baca juga: Pengamat : Keterlambatan parpol tetapkan paslon berdampak pada kesiapan calon
Baca juga: Kata pengamat, edukasi protokol kesehatan bagi wisatawan harus simultan


Atas kenyataan ini, maka Presiden Jokowi mengharapkan agar pilkada tidak hanya memenuhi asas demokrasi prosedural namun perlu ditingkatkan aspek substansi demokrasi.

Harapan Presiden Jokowi ini penting karena secara faktual negara yang memganut sistem demokrasi saat ini, sedang mengalami trend kemunduran demokrasi akibat lemahnya konsolidasi demokrasi.

"Harapan presiden ini menjadi perhatian semua pihak, diantaranya partai politik, DPRD, KPU sebagai penyelenggara, dan kekuatan masyarakat sipil lainnya," katanya.

Dia menambahkan, memang ada disparitas antara semangat berdemokrasi tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat.

Fanatisme demokrasi yang berlebihan justru menjadi pintu masuk tergerusnya demokrasi lokal.

"Sejak 15 tahun kita mempraktikan demokrasi partisipatif dan meninggalkan demokrasi representatif, tetapi justru menimbulkan banyak perdebatan soal masih relevan kah demokrasi partisipasi ini dipertahankan," katanya.