Kupang (ANTARA) - Pasangan calon bupati dan wakil bupati yang ikut dalam Pilkada Serentak 2020 di sembilan kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah melakukan kegiatan kampanye selama lebih dari dua pekan sejak dimulai pada Sabtu (26/9).
Namun, seluruh pasangan calon dan tim pemenangan di provinsi berbasis kepulauan itu lebih memilih untuk melakukan kampanye tatap muka ataupun pertemuan terbatas, ketimbang kampanye dalam jaringan (daring).
Bahkan berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), kampanye pasangan calon pada masa pandemi COVID–19 masih didominasi kegiatan tatap muka dan pertemuan terbatas.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Thomas Dohu mengatakan, sejak dibuka, seluruh pasangan calon hanya melakukan kampanye tatap muka serta pertemuan terbatas dan praktis hampir tidak ada kampanye daring.
Padahal pelaksanaan kampanye tatap muka harus menerapkan protokol COVID-19 secara ketat. Khusus untuk kampanye dengan metode rapat umum yang diatur dalam peraturan KPU Nomor 6/2020 tentang pilkada pada masa COVID-19 telah diubah menjadi PKPU No 13/2020.
Berdasarkan PKPU No 13/2020 sudah tidak lagi diperkenankan kampanye akbar dengan mengundang massa yang banyak termasuk kegiatan berkesenian seperti mengadakan konser.
Pertemuan untuk tatap muka dibatasi hanya diperbolehkan 50 orang yang hadir. Masyarakat yang mengikuti pertemuan juga harus menerapkan jaga jarak 1 meter, menggunakan alat pelindung diri minimal menggunakan masker, harus disediakan tempat cuci tangan dengan sabun dan air mengalir ataupun hand sanitizer.
Baca juga: Cabup Manggarai Barat nilai kampanye daring efektif
Itu pun, lanjut dia, harus berdasarkan koordinasi dengan Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di daerah.
Hanya saja dia tetap mengharapkan pasangan calon dan partai politik peserta Pilkada 2020 dapat melakukan kampanye secara daring, untuk menghindari penyebaran COVID-19.
Kendala jaringan
Calon Bupati Sabu Raijua Takem Radja Pono mengatakan tidak bisa melakukan kampanye dalam jaringan (daring) karena akses jaringan internet di daerah itu tidak mendukung.
"Selain itu, tidak banyak masyarakat di wilayah itu memiliki handphone jenis android untuk dapat mengakses internet," kata Takem.
Karena itu, pihaknya harus mengalokasikan waktu lebih banyak untuk bertemu dengan masyarakat pemilih dari satu titik ke titik yang lain, karena tidak bisa dikumpulkan dalam jumlah banyak sekaligus.
"Memang sungguh melelahkan, tetapi kami harus terus bergerak dari satu titik ke titik yang lain untuk bertemu pemilih, karena kami ingin masyarakat mendapatkan gambaran tentang visi, misi dan program kerja dan figur pemimpin mereka secara jelas sebelum menentukan pilihan," katanya.
Baca juga: Calon Bupati di Sabu Raijua kesulitan kampanye daring
Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Provinsi Nusa Tenggara Timur Abraham Maulaka mengakui, masih ada 645 titik wilayah di provinsi berbasiskan kepulauan itu saat ini yang tidak terjangkau sinyal telekomunikasi atau merupakan area blank spot.
Ia mengatakan, pemerintah telah berupaya mengatasi persoalan ini dengan menghadirkan infrastruktur Palapa Ring.
Namun demikian, lanjut dia, infrastruktur Palapa Ring saja tidak cukup karena perlu didukung dengan pembangunan tower atau Base Transceiver Station (BTS) yang mampu menjangkau hingga ke berbagai wilayah pelosok.
Abraham Maulaka menyebutkan, sampai dengan 2019, di NTT telah terbangun sebanyak 133 BTS yang menyebar di berbagai daerah serta pelayanan internet di 753 titik.
"Ini langkah strategis yang diupayakan pemerintah dan ke depan tentu akan terus ditambah hingga menjangkau titik-titik blank spot yang ada," kata Abraham Maulaka menambahkan.
Untungkan petahana
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang mengatakan, model kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang digelar di tengah pandemi COVID-19, sangat menguntungkan bagi calon petahana.
Dia mengatakan bahwa kampanye di media menjadi jalan satu-satu untuk meraih dukungan masyarakat, namun media memiliki keterbatasan akses dan komunikasi politik untuk meraih dukungan publik tidak maksimal.
"Masyarakat kita masih mengandalkan pola dialogis dalam mengenal pasangan calon, maka ketika ruang dialog ditiadakan tentu lawan akan mengalami kesulitan," katanya.
Sementara petahana dengan status jabatan akan memanfaatkannya sebagai cara untuk berdialog dengan masyarakat.
Apalagi bantuan sosial untuk masyarakat berdampak COVID-19 yang salurkan oleh petahana akan memperkuat posisinya di masyarakat, kata Ahmad Atang.
Di tengah situasi COVID-19 yang membayangi Pilkada Serentak 2020, maka suka atau tidak suka mekanisme kampanye daring menjadi pilihan bagi pasangan calon untuk menyampaikan gagasan, visi, misi, dan program kerja.
Memang harus diakui bahwa pola daring bukan pilihan yang efektif karena masyarakat kita belum terbiasa dengan model politik berbasis pada teknologi.
Pada masyarakat kalangan menengah perkotaan mungkin model ini efektif, tetapi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah di pedesaan terasa sulit untuk menerima pesan satu arah tersebut.
Namun demikian, pola kampanye daring bukan satu-satunya pilihan. Pasangan calon dapat mengembangkan kampanye kreatif agar pesan politiknya dapat sampai ke masyarakat melalaui brosur, stiker dan spanduk.
Pasangan calon dapat menyebarkan ide atau gagasan melalui media tersebut. Hal ini penting agar komunikasi politik dapat sampai ke sasaran khalayak.
Model ini dari sisi anggaran tergolong murah dan lebih efektif sampai ke publik.
Walaupun diakui bahwa budaya mendengar masyarakat masih lebih kuat dibandingkan budaya membaca, sehingga pasangan calon lebih selektif memilih pesan yang tidak membosankan dan membingungkan publik.
Artikel - Menyoal sepinya kampanye daring di NTT
Selain itu, tidak banyak masyarakat di wilayah itu memiliki handphone jenis android untuk dapat mengakses internet