Presidential Threshold Teguhkan Eksistensi Parpol

id PT

Presidential Threshold Teguhkan Eksistensi Parpol

Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD

Ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold), harus dilihat sebagai upaya memperkuat sistem presidential, sekaligus meneguhkan eksistensi partai politik di Indonesia.
Kupang (Antara NTT) - Antropolog budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregorius Neonbasu SVD, PhD berpendapat, ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold), harus dilihat sebagai upaya memperkuat sistem presidential, sekaligus meneguhkan eksistensi partai politik di Indonesia.

"Saya berpendapat bahwa, ambang batas pencalonan presiden ini merupakan bagian dari kesepakatan bersama untuk memperkuat sistem presidential dan menegukan eksistensi parpol kita yang cukup banyak," kata Neonbasu dalam percakapannya dengan Antara di Kupang, Jumat.

Dia mengemukakan hal itu, terkait kontroversi seputar penetapan ambang batas pencalonan presiden, dan apakah dalam kerangka memperkuat sistem presidensial dan sistem kepartaian di Indonesia.

Menurut dia, suasana dan kondisi kehidupan politik seperti yang tertiup dari konstelasi multi partai seperti saat ini, membutuhkan pola Presidential Threshold seperti yang baru saja ditetapkan DPR.

"Kalau tidak, maka sistem presidential tidak memiliki kekuatan apa-apa dan partai politik dapat mempermainkan wibawa presiden," kata Neonbasu yang juga Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Provinsi NTT itu.

"Lebih celaka lagi, kebijakan presiden yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat bangsa ini tidak bisa berjalan, karena tidak mendapat dukungan parlemen," katanya. 

Artinya, dari aspek tertentu, Presidential Threshold seperti saat ini akan memberi makna dan arti bagi kekuatan partai politik, terlebih untuk tidak bersikap sesuka hati, melainkan selalu memberi perhatian pada pada kepentingan masyarakat, nusa dan bangsa secara keseluruhan.

Mengenai PT nol persen, dia menambahkan, PT nol persen yang diusulkan sejumlah parpol justeru akan melemahkan kekuatan partai politik itu sendiri.

"Bukan saja kemunduran demokrasi, melainkan bisa terjadi chaos oleh karena PT nol persen bisa melemahkan kekuatan partai politik itu sendiri. PT nol persen identik dengan motor yang tidak punya gigi," kata Neonbasu.

Pandangan hampir senada disampaikan Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang, MSi yang menilai PT justeru membantu para calon untuk mengukur diri seberapa besar tingkat penerimaan publik terhadap calon presiden.

Menurut dia, dalam sebuah negara demokrasi adalah suatu kewajaran bahwa keputusan politik tidak selalu memuaskan semua orang.

Fenomena ini memunculkan adanya ketidakpuasan dari kekuatan politik lain dengan berbagai perspektif dan mencoba melihat UU ini terselip agenda terselubung untuk membatasi peluang figur tertentu yang akan mencalonkan diri sebagai presiden.

Menurut Ahmad Atang, kecurigaan yang demikian terlalu berlebihan karena dibayangi oleh ketakutan yang berlebihan. Jika ingin jadi pemain politik di Pilpres harus memperkuat basis dukungan bukan menyalahkan undang-undangnya.

Partai yang mendukung sekalipun belum tentu mengambil keuntungan dari UU itu karena mereka juga berjuang mencapai 20 persen. "Jadi sama saja", katanya.

"Jadi bagi saya dengan ditetapkan PT tersebut tidak menguntungkan siapa-siapa kecuali untuk membantu capres dalam membangun strategi politik," katanya menjelaskan.