Kupang, NTT (ANTARA) - Pemerintah Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyatakan komitmennya untuk mendukung penguatan layanan perawatan bagi pasien kanker di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) W. Z. Johannes Kupang yang sistemnya terintegrasi antara rumah sakit dan komunitas.
Wakil Wali Kota Kupang Serena Francis dalam keterangannya di Kupang, Kamis, menegaskan bahwa layanan paliatif tidak semata berkaitan dengan tindakan medis, tetapi juga harus mencakup aspek psikologis, sosial, dan spiritual pasien.
“Ini menjadi PR besar kita bersama. Tidak hanya bagi pemkot, tetapi juga bagi seluruh pemangku kepentingan, karena banyak warga Kota Kupang yang sangat membutuhkan perhatian khusus dalam perawatan yang terfokus atau paliatif,” ujarnya.
Hal ini disampaikan dalam pertemuan bersama Tim Paliatif Kanker RSUD W. Z. Johannes Kupang yang dipimpin oleh dr. Kevin W. Rebo, bersama sejumlah penyintas (survivor) kanker.
Ia menekankan pentingnya tindak lanjut konkret dari pertemuan tersebut dan meminta agar Dinas Kesehatan segera melakukan koordinasi teknis dengan pihak rumah sakit dan tim paliatif.
“Pemkot terbuka untuk membahas kebijakan yang mendukung layanan paliatif agar lebih tepat sasaran, inklusif, dan berkelanjutan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Serena mengatakan bahwa Pemerintah Kota Kupang akan mendalami semua masukan yang telah disampaikan dan menyusun kebijakan yang relevan.
“Kami akan pelajari dan rumuskan langkah terbaik. Semoga ke depan, layanan paliatif di Kota Kupang bisa lebih humanis, terintegrasi, dan berkelanjutan,” katanya.
Ia juga menyampaikan apresiasi kepada para tenaga medis dan penyintas kanker yang telah hadir serta berbagi pengalaman.
Sementara itu, Ketua Tim Paliatif Kanker RSUD W.Z. Johannes dr. Kevin W. Rebo menjelaskan bahwa layanan paliatif bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien secara holistik, mencakup penanganan medis, psikologis, sosial, hingga spiritual.
Menurutnya, meskipun RSUD sudah membentuk tim paliatif hospital-based, tantangan masih dihadapi dalam membangun layanan yang menjangkau komunitas secara sistematis.
Ia mengungkapkan bahwa sebelumnya di Kota Kupang sempat ada tim paliatif komunitas yang diinisiasi oleh PKK Kota Kupang.
Namun, dalam perkembangannya, tanggung jawab layanan tersebut dialihkan kepada fasilitas kesehatan (faskes) mengingat perlunya penanganan medis yang lebih legal dan profesional.
“Kami setuju dengan pergeseran tersebut, tetapi dalam praktiknya kami dari rumah sakit menjadi bingung harus berkoordinasi dengan siapa. Belum ada satu titik pusat kendali atau PIC yang jelas di komunitas,” ungkapnya.
dr. Kevin menyoroti perlunya jejaring komunikasi yang rapi antara rumah sakit, fasilitas kesehatan, dan komunitas agar pendampingan pasien tetap berlanjut meski mereka tidak lagi dirawat di rumah sakit.
Ia mencontohkan sistem layanan paliatif di Australia yang menggunakan unit layanan terpusat berbasis call center, dengan sistem triase yang efisien.
“Kalau Pemkot bisa membentuk satu unit layanan terpusat seperti itu, kita bisa mulai bangun sistemnya dari sekarang,” usulnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang drg. Retnowati menjelaskan bahwa saat ini layanan paliatif di fasilitas kesehatan masih bersifat pasif, hanya merespon kasus yang dilaporkan tanpa sistem pemantauan berkelanjutan.
Untuk itu, ia mengusulkan agar pemkot mempertimbangkan pembentukan klinik swasta mitra pemerintah, yang dapat menjadi pusat layanan paliatif berbasis komunitas dengan dukungan legal, tenaga medis, serta fasilitas yang memadai.
Ia juga menambahkan layanan paliatif menyangkut penggunaan obat-obatan khusus, termasuk jenis narkotika untuk pengelolaan nyeri, maka penyelenggaraannya perlu dilakukan secara terstruktur dan tersistem dengan pengawasan ketat serta koordinasi lintas sektor.