"Kami di provinsi pasti akan terus mendorong dan mendukung jika ada pemerintah daerah mulai membudidayakan perikanan darat karena ini akan sangat membantu masayarakat kita khususnya nelayan saat pasokan perikanan tangkap mengalami gangguan akibat musim barat," kata Kepala DKP NTT Ganef Wurgiyanto di Kupang, Senin.
Ia mengatakan bentuk dukungan yang diberikan adalah menyediakan benih budidaya ikan darat yang siap disalurkan melalui Balai Benih sesuai dengan permintaan setiap daerah.
Tak hanya itu Dinas Kelautan dan Perikanan NTT juga akan membantu dengan mensosialisasikan terkait dengan prospek peluang perikanan budidaya di darat.
"Oleh karena itu kami berharap agar pemerintah kabupaten/kota melalui dinas terkait yang memiliki masyarakat pembubidaya agar terus mengupayakan melalui bantuan untuk pembuatan fasilitas pendukung seperti bangunan tambak ataupun kolam," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengaku bahwa perikanan budidaya di NTT masih didominasi budidaya laut berupa rumput laut yang menjadi ikon di provinsi kepulauan itu karena menyebar hampir di semua daerah.
"Sementara kalau untuk kebutuhan perikanan di dalam maupun untuk ekspor, kita masih andalkan perikanan tangkap karena potensinya jauh lebih besar," katanya pula.
Sebelumnya Ganef yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP NTT itu mengatakan bahwa untuk perikanan budidaya darat sendiri Kabupaten Malaka yang berbatasan dengan Timor Leste mendominasi dibandingkan dengan daerah lainnya.
Tercatat pada 2016, produksi perikanan budidya di Kabupaten Malaka mencapai 2.664 ton yang didominasi jenis ikan bandeng.
Ekspor langsung
Ketika ditanya soal kegiatan ekspor, Ganet mengatakan pihaknya akan terus mendorong agar ekspor ikan dapat dilakukan oleh kapal-kapal ekspor secara langsung dari provinsi berbasiskan kepulauan itu.
"Kami sementara upayakan adanya penetapan target alokasi ekspor ikan supaya moda transportasi kapal-kapal ekspor dari luar bisa langsung masuk ke NTT," katanya.
Mantan Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP NTT itu mengatakan, sejauh ini aktivitas ekspor ikan dari provinsi dengan luas laut mencapai 200.000 km2 itu umumnya melalui Surabaya, Jawa Timur.
Tujuan ekspor ke sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Thailand, Jepang maupun negara tetangga yang berbatasan wilayah secara langsung yaitu Timor Leste.
Ganef mengaku, ekspor ikan langsung dari NTT pernah diterapkan pada tahun 1995 hingga 1996, namun semenjak itu belum dilakukan lagi karena kapasitas jumlah ikan ekspor tidak terpenuhi.
"Makanya kami sementara mendorong agar adanya target alokasi sehingga kapal-kapal ekspor bisa mendapatkan izin "line" untuk langsung masuk mengekspor di sini," katanya.
Ganef menyebut aktivitas ekspor ikan dari NTT melalui Surabaya dilayani sebanyak 21 perusahaan yang telah memenuhi syarat yang menyebar di Pulau Timor, Flores, Sumba dan Lembata.
"Semua perusahaan itu telah mengantongi sertifikat dan izin ekspor namun masih melalui Surabaya karena belum ada kapal yang memiliki izin line langsung ke NTT," katanya.
"Nanti di Surabaya ada yang bisa langsung diekspor ada juga yang masih harus dipindahkan terlebih dahulu namun ikan-ikan ekspor itu bukan dengan nama NTT melainkan dari daerah mereka padahal pasokannya dari kita," katanya.
Ia mengatakan, ikan-ikan hasil tangkapan nelayan yang diekspor sejauh ini sudah layak dan telah memenuhi standar internasional dari aspek mutu maupun pengelolaan ikan.
Namun, menurutnya, aktivitas ekspor akan menjadi lebih efektif dan efisien jika dapat dilakukan secara langsung dari provinsi selaksa nusa itu.
DKP mencatat jumlah ekspor ikan NTT selama 2017 ke sejumlah negara tujuan melalui Surabaya telah mencapai 300 ton dengan nilai mencapai Rp163 miliar. Nilai ekspor dalam tahun ini diprediksi bisa melebihi perolehan 2016 yang tercatat lebih dari Rp500 miliar.
"Kami sementara upayakan adanya penetapan target alokasi ekspor ikan supaya moda transportasi kapal-kapal ekspor dari luar bisa langsung masuk ke NTT," katanya.
Mantan Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP NTT itu mengatakan, sejauh ini aktivitas ekspor ikan dari provinsi dengan luas laut mencapai 200.000 km2 itu umumnya melalui Surabaya, Jawa Timur.
Tujuan ekspor ke sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Thailand, Jepang maupun negara tetangga yang berbatasan wilayah secara langsung yaitu Timor Leste.
Ganef mengaku, ekspor ikan langsung dari NTT pernah diterapkan pada tahun 1995 hingga 1996, namun semenjak itu belum dilakukan lagi karena kapasitas jumlah ikan ekspor tidak terpenuhi.
"Makanya kami sementara mendorong agar adanya target alokasi sehingga kapal-kapal ekspor bisa mendapatkan izin "line" untuk langsung masuk mengekspor di sini," katanya.
Ganef menyebut aktivitas ekspor ikan dari NTT melalui Surabaya dilayani sebanyak 21 perusahaan yang telah memenuhi syarat yang menyebar di Pulau Timor, Flores, Sumba dan Lembata.
"Semua perusahaan itu telah mengantongi sertifikat dan izin ekspor namun masih melalui Surabaya karena belum ada kapal yang memiliki izin line langsung ke NTT," katanya.
"Nanti di Surabaya ada yang bisa langsung diekspor ada juga yang masih harus dipindahkan terlebih dahulu namun ikan-ikan ekspor itu bukan dengan nama NTT melainkan dari daerah mereka padahal pasokannya dari kita," katanya.
Ia mengatakan, ikan-ikan hasil tangkapan nelayan yang diekspor sejauh ini sudah layak dan telah memenuhi standar internasional dari aspek mutu maupun pengelolaan ikan.
Namun, menurutnya, aktivitas ekspor akan menjadi lebih efektif dan efisien jika dapat dilakukan secara langsung dari provinsi selaksa nusa itu.
DKP mencatat jumlah ekspor ikan NTT selama 2017 ke sejumlah negara tujuan melalui Surabaya telah mencapai 300 ton dengan nilai mencapai Rp163 miliar. Nilai ekspor dalam tahun ini diprediksi bisa melebihi perolehan 2016 yang tercatat lebih dari Rp500 miliar.