Mampukah PDIP mempertahankan kursi gubernur NTT?

id PDIP

Mampukah PDIP mempertahankan kursi gubernur NTT?

Ketua DPD PDI Perjuangan NTT Frans Lebu Raya (tengah) berpose dengan sejumlah kader PDIP sesudah mengelar rapat persiapan Rakerdasus dan Deklarasi Cagub/Cawagub pada 10 Januari 2018 di Kupang. (Foto ANTARA/Bernadus Tokan)

Setelah periode kepemimpinan itu berakhir, Lebu Raya bersama Benny Litelnoni terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2013-2018 yang akan berakhir pada Juli mendatang. Perjalanan politik Frans Lebu Raya sebagai gubernur NTT, berakhir
Kupang (Antaranews NTT) - Dalam 15 tahun tahun terakhir, jabatan gubernur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Timur dalam genggaman erat kader PDI Perjuangan yang terekam dalam sosok Frans Lebu Raya.

Selama lima tahun (2003-2008), Frans Lebu Raya sempat menikmati jabatan sebagai wakil gubernur mendampingi Piet Alexander Tallo yang saat itu menjabat sebagai Gubernur NTT. 

Selepas masa kekuasaan Piet Tallo berakhir, Lebu Raya menerima tongkat estafet kepemimpinan NTT melalui pemilu pertama yang langsung dipilih oleh rakyat pada saat itu. Lebu Raya saat itu didamping oleh Esthon Foenay sebagai wakil gubernur.

Setelah periode kepemimpinan itu berakhir, Lebu Raya bersama Benny Litelnoni terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2013-2018 yang akan berakhir pada Juli mendatang. Perjalanan politik Frans Lebu Raya sebagai gubernur NTT, berakhir sampai disitu.

Ia tidak bisa lagi bertarung dalam pemilu 2018, karena sudah dua kali memimpin NTT. Dan menjadi pertanyaan disini, apakah masih ada kader PDI Perjuangan yang akan menyambung tongkat estafet kepemimpinan di daerah ini?

Sejumlah kader potensial seperti mantan Wakil Ketua DPRD NTT Kristo Blasin, dan Bupati Timor Tengah Utara dua periode Raymundus Fernadez mulai tampil ke permukaan untuk mencalonkan diri menggantikan posisi Lebu Raya.

Namun, Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan di Jakarta lebih memilih figur dari luar partai untuk diusung ke arena pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023.

DPP PDI Perjuangan melalui Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri kemudian menetapkan dan mengumumkan pasangan Marianus Sae-Emilia Nomleni sebagai calon Gubernur-Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Keputusan itu kemudian menimbulkan pro kontra di kalangan kader partai. Dua petinggi PDI Perjuangan yakni Kristo Blasin dan Raymundus Fernandes kemudian memilih keluar dari partai sebagai reaksi menolak keputusan DPP yang menetapkan calon dari luar partai.

Dua figur yang sudah melakukan sosialisasi ke akar rumput sebagai calon gubernur inipun bergabung, dan menjadi tim inti pemenangan pada paket yang diusung Partai Golkar dan NasDem.

Tidak hanya itu, semua figur bakal calon yang melamar ke partai berlambang banteng moncong putih itu, juga rame-rame mengikuti jejak Kristo Blasin dan Raymundus Fernandes.

Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mikhael Bataona, MA menilai, PDI Perjuangan akan tercerai berai, sehingga akan menjadi sebuah pertaruhan yang sulit dalam pilkada serentak 2018 di NTT.

"Saya melihat PDIP sepertinya sedang melawan dirinya sendiri sehingga akan menjadi sebuah pertaruhan yang sulit, sebab, melawan musuh dari luar itu seribu kali lebih mudah daripada melawan musuh dari dalam partai," kata Mikhael Bataona.

Menurut dia, reaksi kader partai tentu banyak sekali walaupun tidak mencuat ke publik. Ini tentu akan mengganggu kerja politik dalam pilkada serentak 2018.

"Menurut saya, dari seluruh NTT, reaksi yang paling menarik adalah reaksi kader di DPD PDIP NTT seperti Kristo Blasin dan gerbongnya Raymundus Fernandez yang kabarnya secara masal sudah menyerahkan kartu tanda anggota dan simbol partai," katanya.

Reaksi yang sangat menarik juga adalah khususnya kader di DPC PDIP Ngada. Mereka ini yang paling ditunggu reaksinya karena belum lama ini, mereka adalah lawan paling getol dalam pertarungan sengit melawan Marianus Sae dalam Pilkada 2017 di Kabupaten Ngada.

"Apakah mereka akan bermain politik `klandestein` yaitu baik di permukaan tapi tetap melawan Marianus Sae di bawah tanah. Ataukah mereka justru berbalik dan menjadi paling solid mendukung Marianus Sae," katanya dalam nada tanya.

Bisa saja, mereka yang menyatakan mendukung, justru secara diam- diam bergerylia mendukung paket lainnya.

Karena itu ada kesan sedang saling hadap tiga kubu besar di internal PDIP, di mana elit PDIP di Jakarta harus berhadapan dengan DPD I yang gerbongnya tidak terakomodir, lalu gerbong DPC di semua kabupaten kota yang terbelah karena ada yang cantolannya adalah ke DPD I dan ada yang ke DPP di Jakarta.

"Fenomena ini menurut saya, berpotensi mencabik PDIP dari dalam. Apalagi dalam politik, kebencian bersama terhadap satu pihak, bisa menjadi dasar bagi persahabatan suatu kelompok," katanya.

Mereka yang sama-sama tidak puas dengan keputusan DPP PDI Perjuangan, mungkin saja bersatu dan tidak bekerja keras selama Pilgub dan Pilkada di 10 kabupaten se-NTT pada 2018.

Karena itu, hal paling penting yang harus dilakukan PDIP di daerah adalah memaksimalkan personal `branding` figur yang diajukan sehingga tidak terpengaruh oleh gonjang ganjing di level provinsi.

Padangan hampir sama disampaikan akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang, MSi yang menilai, reaksi sejumlah kader PDI Perjuangan terhadap keputusan DPP, berdampak pada peluang calon Gubernur-Wakil Gubernur yang diusung partai itu dalam Pilgub NTT 2018.

"Secara psikologis memang para kader partai merasa tidak nyaman, bahkan mulai frustrasi menghadapi pilkada. Karena itu akan sangat berdampak pada kerja-kerja politik untuk memenangkan pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT, Marianus Sae-Emilia Nomleni yang ditetapkan DPP," kata Ahmad Atang.

"Penetapan marianus telah mematik pro dan kontra diinternal PDIP. Secara psikologis memang para kader partai merasa tidak nyaman bahkan mulai frustrasi menghadapi pilkada," katanya menambahkan.

Menurut dia, kondisi ini jangan dibiarkan mengambang terlalu lama yang pada akhirnya para kader mengambil jalan untuk mendukung paket lain.

"Dalam menghadapi situasi ini menurut saya akan memunculkan sikap para kader di tingkat bawah yakni menerima keputusan DPP dan berkerja maksimal," katanya.

Tetapi ada yang menerima namun apatis dan tidak bekerja, ada yang menolak yang justru melakukan penggembosan dari dalam dan itu sangat membahayakan bagi paket calon yang diusung, katanya.

Ketua DPD PDI Perjuangan NTT yang juga Gubernur NTT, Frans Lebu Raya mengatakan, ketidakpuasan terhadap keputusan DPP PDIP yang menetapkan Marianus Sae-Emilia Nomleni sebagai calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT merupakan hal biasa.

"Proses ini sudah lama kita lakukan dan pada akhirnya DPP PDIP telah mengakomodir pak Marianus Sae - ibu Emi Nomleni," kata Lebu Raya.

Menurut gubernur dua periode itu, dalam politik, jika ada ketidakpuasan terhadap sebuah keputusan itu hal yang biasa. "Saya kira dalam politik kalau ada ketidakpuasan itu biasa, dan kita harus hormati," katanya.

Lebu Raya mengatakan DPD PDIP NTT akan menindaklanjuti keputusan DPP PDIP dengan menggelar rapat koordinasi.

Dia mengatakan, hingga saat ini seluruh kader partai tetap solit untuk memenangkan pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur NTT serta pilkada di sepuluh kabupaten se-NTT pada 2018.