Akademisi: Pengusiran pejabat di Sikka bukti buruknya etika komunikasi elit

id mik bataona,sikka

Akademisi: Pengusiran pejabat di Sikka bukti buruknya etika komunikasi elit

Pengamat politik dari Unwira Kupang Mikhael Rajamuda Bataona (ANTARA/Bernadus Tokan)

...Saya membaca kasus ini sebagai fenomena buruknya etika berkomunikasi elit politik di ruang publik
Kota Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Mikhael Rajamuda Bataona menilai, kasus pengusiran pejabat di Sikka oleh Bupati sebagai fenomena buruknya etika berkomunikasi elit politik di ruang publik. 

"Saya membaca kasus ini sebagai fenomena buruknya etika berkomunikasi elit politik di ruang publik. Termasuk buruknya pemahaman para elit dan aktor politik tentang pentingnya menjaga cara dan tujuan sebuah tindakan," kata Mikhael Bataona di Kupang, Jumat, (27/5).

Pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira mengemukakan pandangan tersebut berkaitan dengan kasus pengusiran Kepala Dinas Ketahanan Pangan oleh Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo karena bermain handphone saat sedang berlangsung rapat.

Menurut dia, mereka alpa memahami bahwa cara berkomunikasi yang baik itu sangat penting dalam rangka mencapai sebuah tujuan yang menurut mereka baik.

"Ketika cara yang digunakan itu salah, maka tujuannya juga akan salah," kata pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang itu.

Hal kedua yang bisa dibaca dari kasus ini adalah, para elit seperti Bupati Sikka, Roby Idong, sudah terjebak dalam cara berpikir praktis pragmatis bahwa tujuan itu jauh lebih penting daripada cara. 

"Jadi, sebagai Bupati dengan cara memarahi sang kepala Dinas di muka umum, tujuannya pasti tercapai. Yaitu kepala dinas tersebut akan malu dan berubah sikapnya. Padahal secara moral, cara juga penting. Cara jangan sampai mengorbankan tujuan. Orang tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan," katanya. 

Meskipun tujuannya adalah bahwa dengan marah, sang kepala dinas akan malu dan berubah sikap, sekaligus sebagai warning bagi semua pejabat yang lain. Tetapi karena cara yang dipakai dalam berkomunikasi itu kurang etis, kasar dan vulgar, maka Bupati Sikka sendiri sedang mengorbankan tujuan mulianya.

Menurut dia, dengan memarahi sang kepala dinas di depan umum, dengan komunikasi verbal yang keras dan tajam bahkan mungkin oleh sebagian masyarakat Sikka dimaknai sebagai sesuatu yang sangat kasar dan vulgar seperti itu, masyarakat tidak akan lagi melihat tujuan di balik cara berkomunikasi seperti itu. 

Masyarakat justru menilai secara sederhana bahwa Bupati Roby sudah melampaui batas dalam berkomunikasi di ruang publik. 

"Jadi sekali lagi, meskipun tujuannya baik dan mulia, yaitu demi penegakan disiplin ASN dan pejabat di Sikka, tetapi karena cara komunikasinya dinilai oleh masyarakat sebagai sesuatu yang terlalu vulgar dan kasar, maka tujuannya yang mulia tadi sudah dikorbankan," katanya. 

Dia mengatakan, perlu dipahami bahwa etika berkomunikasi pejabat atau elit di ruang publik sangatlah penting. Berkomunikasi harus selalu memperhatikan adab, sopan santun, dan  nilai-nilai moral dan etis yang berlaku di tengah masyarakat. 

Karena bisa saja akan muncul apa yang disebut dalam politik sebagai solidaritas yang terluka, yaitu masyarakat yang merasa terluka karena cara-cara berkomunikasi dan perilaku elit, akan marah lalu bersolidaritas untuk menghukum balik para elit tersebut.

Karena itu saya membaca bahwa dalam kasus ini masayarakat Sikka --lah yang diruigkan. Citra kabupaten Sikka sedang dipertaruhkan. Ketika kasus ini viral di media sosial lalu dinilai secara negatif oleh publik Indonesia, maka citra Kabupaten Sikka juga akan rusak.

Nah, dampak lanjutan dari cara berkomunikasi elit yang kurang pas seperti ini adalah masyarakat akan melakukan apa yang dalam perspektif sosiologi disebut sebagai "Boundary Maintenance" atau "Penjagaan Batas". Yaitu masyarakat akan secara bersama-sama melihat, apakah tindakan Bupati Roby ini sudah melampaui batas ataukah tidak?.

Apabila itu sudah melampaui batas secara moral karena melanggar nilai-nilai moral etis, adab ketimuran, tata krama, adat dan budaya Sikka, maka dampaknya adalah masyarakat akan marah dan bersolidaritas untuk menunggu dan mengekspresikan "Boundary Maintenance" tersebut lewat Pemilu, katanya.
 
"Dan itu saya kira secara politik sangat merugikan bupati Sikka. Sebab komunitas yang terluka itu cenderung memiliki semacam solidaritas pikiran yang masif yang meskipun tidak nampak dipermukaan tetapi akan menjadi sebuah fenomena gunung es di level batin dan pikiran," katanya. 

Baca juga: Analis: Konflik Demokrat NTT sejarah yang harus dilalui

Artinya, solidaritas yang terluka ini akan terus terkonsolidasi hingga hajatan politik berikutnya yaitu Pemilu, sehingga akan sangat merugikan aktor politik yang nasibnya akan ditentukan lewat pemilu seperti Bupati Roby. 

Mengapa lewat pemilu? karena bupati Roby adalah tokoh publik yang tidak bisa langsung ditegur kecuali lewat demonstrasi misalnya, atau lewat protes dan tanggapan-tanggapan pribadi netizen di media social, tetapi lebih banyak akan lewat pemilu. 

Baca juga: Akademisi sebut usulan tunda Pemilu 2024 manuver konsolidasi kekuasaan

Dalam hal ini jika sang Bupati tidak ingin meperbesar jumlah komunitas solidaritas masyarakat yang terluka di Kabupaten Sikka, maka permohonan maaf itu saya kira sangat urgen untuk dilakukan secepatnya, katanya menambahkan.