Jayapura (ANTARA) - Yoseph Hugo Sugbepon Kayanbyak Mirino bukanlah seorang pilot biasa. Pemuda berusia 26 tahun ini mengabdikan dirinya pada Yayasan Pelayanan Penerbangan Tariku sejak Februari 2018.
Yayasan Penerbangan Tariku Aviation mulai beroperasi pada 1975 dan selama 47 tahun Tariku bekerja melayani masyarakat di Papua memberikan pelayanan gratis bagi pelajar dan warga yang sakit di pedalaman Bumi Cenderawasih tetapi juga kegiatan kerohanian terutama penginjilan pada daerah yang tidak bisa dijangkau menggunakan transportasi darat.
Yayasan Pelayanan Penerbangan Tariku (YPPT) atau Tariku Aviation Services mengoperasi pesawat-pesawat terbang (Cessna 185) yang sesuai dengan kondisi lapangan yang berlandaskan rumput dan pendek di mana pertama kali melayani penerbangan di Kabupaten Mamberamo Raya, Papua.
Hugo lahir di Jayapura 16 Maret 1994. Dia menjadi salah satu anak asli Papua yang berhasil mewujudkan mimpinya sejak masih anak-anak yaitu menjadi seorang pilot di Tanah Papua.
Hugo merupakan anak ke dua dari empat bersaudara, kakak perempuan tertua yakni Yosefina Mirino saat ini menjadi karyawan di PT Bank Pembangunan Daerah Papua atau Bank Papua sementara ke dua adiknya yakni Inseren Mirino saat ini masih mencari lapangan pekerjaan dan Kamasan Mirino sedang menjalani di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Khusus untuk Hugo, dia dirilis menjadi seorang kapten pilot pada Yayasan Pelayanan Penerbangan Tariku pada Oktober 2018 setelah mengikuti pelatihan untuk memperoleh jam terbang selama tujuh bulan.
Awal Perjalanan
Setelah lulus pada SMA Negeri 1 Jayapura pada 2011 Hugo melanjutkan studi pada Sekolah Bahasa Inggris Transition To International Program (TITIP) di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua selama delapan bulan. Bahkan dia pernah mendapat beasiswa ke Australia pada 2013.
Sebelumnya dia juga lolos masuk ke Sekolah Tinggi Ilmu Akuntansi dan Universitas Satya Wacana, Salatiga.
Namun keinginan Hugo untuk menjadi seorang pilot membuatnya lebih memilih untuk menggapai cita-citanya sejak kecil.
Kesempatan itu datang ketiga dia mengikuti observasi pada maskapai penerbangan Garuda untuk mengetahui cara pengoperasian pesawat mulai dari take off dan landing.
Setelah melakukan pengamatan selama empat bulan berselang beberapa waktu kemudian ada pembukaan penerbangan melalui program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
Jalan untuk menjadi seorang pilot semakin terbuka lebar setelah dia bersama 17 rekan lainnya dari yang merupakan anak asli Papua dinyatakan lulus dari UP4B dan mendapat beasiswa pada 2014. Mereka kemudian dikirim ke Sekolah Tinggi Ilmu Penerbangan Curug di Tanggerang, Provinsi Banten.
"Di Curug kami diseleksi lagi dan dari 18 anak asli Papua yang ikut lulus saya bersama tujuh rekan saya dinyatakan lulus," katanya kepada Antara di Jayapura.
Dia menjelaskan setelah mengikuti pendidikan di Curug dia bersama rekan-rekannya dipindahkan ke Balai Pendidikan Pelatihan Penerbangan Banyuwangi, Jawa Timur sejak 2015 hingga Oktober 2017 mereka dinyatakan lulus.
Setelah lulus dari Balai Pendidikan Pelatihan Penerbangan Banyuwangi, Jawa Timur dia sempat menganggur selama empat bulan sebelum pada Februari melamar ke YPPT pada Februari 2018.
"Saya pulang ke Jayapura untuk menjaga ibu (mama) karena ayah saya meninggal pada 4 Juli 2017 sekaligus melanjutkan usaha ternak Babi yang dijalankan mendiang ayahnya," ujarnya.
Orang Tua Menolak
Cita-cita Hugo untuk menjadi seorang pilot awalnya tidak mendapat persetujuan dari ke dua orang tua yakni Nico Mirino (Almarhum) dan J.J.Mirino Krey.
Ketika itu mereka ingin supaya Hugo bisa mengikuti jejak mereka untuk bekerja di dunia perbankan ataupun menjadi seorang pendeta atau gembala.
"Bapak saya itu kerja di bank dan mama (Ibu) seorang pendeta jadi mereka ingin saya menjadi pegawai bank," katanya lagi.
Namun berkat kegigihannya dia terus berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya sejak kecil dan akhirnya Tuhan menjawab doanya menjadi kapten pilot di Tanah Papua.
Rute Penerbangan
Pelayanan penerbangan oleh YPPT yang menjangkau ke daerah terpencil di Papua di mulai dari Kabupaten Pegunungan Bintang hingga ke Kabupaten Paniai tetapi juga ke Yahukimo, Yalimo, Mulia, Karubaga, Kobagma dan Nabire.
Dalam sekali penerbangan maksimal penumpang sebanyak sembilan orang tanpa co-pilot dengan total muatan seberat satu ton. Pelayanan penerbangan yang dijalankan oleh YPPT lebih kepada misi penjemputan pasien di setiap distrik terjauh dan anak-anak yang ingin bersekolah ke kota.
"Pelayan seperti itu semua gratis kami juga bisa membantu masyarakat ketika sedang melakukan pengerjaan lapangan terbang (Lapter) seperti perawatan," katanya lagi.
Ingin Miliki Maskapai
Sukses menjadi seorang pilot di usia yang baru menginjak 28 tahun, Hugo berkeinginan memiliki maskapai sendiri di saat dia berumur 45 tahun.
Keinginan ini ada karena dia begitu mencintai dunia penerbangan bahkan dia bertekad akan terbang di Papua hingga masa tua tiba sehingga ke depan kapten pilot pesawat perintis Tariku tersebut bisa memberdayakan anak-anak Papua dengan memperkerjakan mereka pada maskapai yang didirikannya.
Namun dia juga tergoda pada dunia politik seperti yang dilakukan mantan pembimbingnya, yakni Bupati Bupati Paniai Meky Nawipa di mana sebelumnya berprofesi sebagai seorang pilot komersial selama 10 tahun sejak 2008 hingga 2018.
"Namun saya mempunyai gol utama yaitu mendirikan perusahaan sendiri dan saya akan berusaha untuk itu. Saya juga ingin supaya ada pesawat jenis amfibi yang mendarat dia air untuk beroperasi ke Raja Ampat, Provinsi Papua Barat," ujarnya.
Menurut Hugo, Papua mempunyai peluang yang sangat besar untuk bisa dijadikan salah satu destinasi tujuan turis dari seluruh dunia seperti Maldives yang berada di barat daya Sri Lanka, Maladewa.
Baca juga: Profil - Jejak Wahyu Hidayat jadi Komandan Paspampres pertama dari TNI AU
Baca juga: Profil - Rojerio dan tekadnya mengharumkan nama NTT lewat kriket
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Hugo, sang pilot misi kemanusiaan di pedalaman Papua