Walau pemerintah sejak lama juga sudah mencanangkan program diversifikasi tanaman dan pangan non-beras, nyatanya konsumsi beras dari tahun ke tahun terus merambat naik.
“Kalau belum makan nasi berarti belum makan, “ demikian pameo mayoritas penduduk Indonesia. Bahkan, masyarakat Madura yang dulu mengonsumsi jagung sebagai pangan pokok dan masyarakat Papua yang biasa makan sagu beralih ke nasi.
Konsumsi beras, menurut BPN dan BPS terus naik dari 28,93 juta ton pada 2019 , 29,37 juta ton pada 2020, 30,04 juta ton pada 2021 dan 30,2 juta ton pada 2022, sedangkan angka proyeksi Januari– Septmber 2023 saja sudah mencapai 22,69 juta ton.
Sebaliknya, lahan-lahan sawah subur di Pulau Jawa terus menyusut akibat dikonversi untuk berbagai peruntukan seperti permukiman, industri dan pembangunan jalan tol, sehingga selain perlu menggenjot penelitian untuk menemukan varietas-varietas padi unggul, perluasan sawah ke luar Jawa juga harus dipacu.
Alam Indonesia yang kaya dengan berbagai tanaman pangan selain padi, seperti biji-bijian (serealia) yakni jagung, jelai, sorgum, umbi-umbian (antara lain ketela, ubi jalar, keladi, kentang, porang), sagu dan aneka jenis pisang mestinya bisa dikembangkan sebagai pangan alternatif.
Baca juga: Telaah - Membangun lumbung sapi di pulau-pulau kecil
Dalam jangka pendek, kecukupan CBP dan stabilitas harga beras menjelang Natal dan Tahun Baru, Pemilu Serentak pada 14 Februari 2024 dan Idul Fitri, kebutuhan mendesak (OP dan program SPHP) serta penyaluran bansos bagi warga miskin (KPM), perlu dipastikan.
Baca juga: Telaah - Menuju kebangkitan petani Indonesia
Beras selain merupakan komoditas strategis karena “perut tidak dapat menunggu”, juga sangat rentan dipolitisasi di tengah tahun politik menjelang Pemilu 2024. Oleh karena itu, kebijakan terkait perberasan harus benar-benar tepat guna, tepat sasaran, dan tepat waktu.
*) Nanang Sunarto adalah mantan Wakil Pemimpin Pelaksana Redaksi Antara.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjaga stok dan stabilitas harga beras