Jakarta (ANTARA) - PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP), salah satu produsen baja terintegrasi di Indonesia menerapkan sejumlah strategi guna menghadapi produk baja impor yang semakin meningkat masuk ke pasar dalam negeri.
Presiden Direktur PT GRP Fedaus mengatakan, berdasarkan data Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA), konsumsi baja nasional (Apparent Steel Consumption/ASC) terus meningkat dari 15 juta ton pada 2020 menjadi 17,4 juta ton di 2023, dan diperkirakan mencapai 18,3 juta ton di 2024,
Peningkatan konsumsi baja tersebut, lanjut dia dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, seiring maraknya proyek seperti pembangunan jaringan tol, jembatan, dan transportasi publik.
"Pertumbuhan permintaan tersebut juga diikuti oleh peningkatan signifikan impor baja, terutama dari Tiongkok. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor besi dan baja mencapai 13,8 juta ton pada 2023," katanya.
Persaingan industri tidak hanya soal harga, tambahnya, namun juga terkait keberlanjutan industri, kualitas konstruksi, dan kedaulatan manufaktur nasional.
"Produk baja murah yang tidak sesuai standar bisa berdampak pada masa depan pembangunan kita. Karena itu, sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan media sangat krusial agar ekosistem baja tetap sehat dan kompetitif," ujar Fedaus.
Meskipun dibayangi tantangan, menurut dia, GRP tetap optimistis terhadap masa depan industri baja Indonesia, bahkan sebagai bentuk transformasi jangka panjang dalam upaya menjadi produsen baja rendah karbon di Asia serta sekaligus mendukung program NZE pemerintah Indonesia, GRP telah meluncurkan berbagai inisiatif yang dimulai sejak November 2024.
Inisiatif multi tahap ini bertujuan mentransformasi GRP menjadi pemimpin dalam produksi baja berkelanjutan di Asia Tenggara. Proyek ini dibangun di atas tiga pilar utama, yakni transisi ke 100 persen Electric Arc Furnace (EAF), pemanfaatan scrap daur ulang, dan rencana pengembangan dan penggunaan energi terbarukan.
"GRP akan menghentikan blast furnace yang sudah dibangun, namun tidak pernah dioperasikan, dan mengadopsi teknologi EAF yang lebih efisien dan minim emisi.
Strategi pengadaan scrap baja juga dikembangkan secara domestik dan internasional guna mendukung ekonomi sirkular dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam primer.
Di saat yang sama, tambahnya, perusahaan juga terus mengeksplorasi sumber energi terbarukan untuk menurunkan jejak karbon dari hulu ke hilir.
Selain itu, GRP bekerja sama dengan Primetals Technologies, guna membangun fasilitas produksi baja gulungan canai panas (Hot Rolled Coils/HRC) berbasis teknologi Arvedi Endless Strip Production (ESP).
Teknologi ini memungkinkan produksi baja berkualitas tinggi dengan emisi karbon nyaris nol dan efisiensi energi yang luar biasa.
Produksi yang akan dimulai pada 2027 tersebut, mendukung rencana GRP untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi 2.500.000-ton baja rendah emisi karbon.
Sehingga nantinya, GRP menjadi perusahaan baja pertama di Asia, di luar Tiongkok, yang secara aktif mempersiapkan diri untuk memenuhi regulasi karbon ketat pasar global.
GRP juga menyambut baik langkah pemerintah dalam menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas produk baja impor sebagai bentuk perlindungan strategis terhadap industri nasional.
Kebijakan ini sangat penting untuk menciptakan persaingan yang adil, mencegah praktik dumping yang merusak pasar, serta memberikan ruang bagi produsen dalam negeri untuk berkembang dan berinovasi.

GRP terapkan sejumlah strategi hadapi peningkatan impor baja


Ilustrasi - Seorang pekerja memeriksa koil baja untuk bahan dasar pipa baja yang masuk dalam program Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di Bekasi, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/rwa/aa.