Kupang (ANTARA) - Pedagang sayur merupakan salah satu dari sekian banyak pekerjaan yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di Kecamatan Kupang Tengah, khususnya di Desa Mata Air, sebagian masyarakatnya bekerja sebagai petani dan pedagang sayur, sebab kawasan tersebut memiliki sumber air yang sangat melimpah untuk bercocok tanam.
Titus Teti (65), misalnya, merupakan salah seorang warga Desa Mata Air yang bekerja sebagai pedagang sayur. Ia sudah melakoni pekerjaan tersebut hampir 11 tahun lamanya.
"Saya sudah berjualan dari tahun 2008," kata pria berambut ubanan itu saat ditemui di kebun sayur Desa Mata Air, Rabu (16/10). Tampak sebuah meja kayu yang diletakkan di depan halaman rumahnya untuk berjualan sayur.
Sambil mengatur dagangannya, tidak lupa Titus sesekali menawarkan sayur-sayur tersebut kepada orang-orang yang tengah melewati di depan rumahnya.
Rutinitas tersebut Titus lakukan setiap hari, mulai dari pagi hingga malam hari. Berdagang di depan rumah baru saja dilakukan Titus dalam tiga tahun belakangan ini.
Sebelumnya, ia menjual sayur-sayurannya sebagai pedagang keliling. Ia melangkahkan kakinya dari rumah ke rumah sambil menawarkan aneka sayur kepada warga setempat.
Bapak Uku, demikian Titus Teti yang biasa disapa warga setempat, biasanya memikul jualannya menggunakan sebatang tongkat yang terbuat dari bambu atau biasa disebut warga di daerah itu dengan sebutan Lalepak.
Dari kedua sisi Lalepak tersebut, digantunglah sayur-sayuran yang dikemas dalam karung. Berbagai jenis sayur, seperti kangkung, kacang panjang, peria, terung, dan sawi tersusun rapi dalam karung itu.
Ia berjalan dari rumah ke rumah untuk menawarkan dagangannya mulai dari pagi hingga menjelang senja hari.
Sayur-sayuran yang dijual tersebut merupakan hasil keringat dari ladangnya sendiri. Namun, usaha Bapak Uku tersebut tidaklah begitu banyak karena keterbatasan modal.
Baca juga: Masyarakat NTT harus gemar Konsumsi Sayuran
Memasuki usia senja, Bapak Uku memutuskan untuk tidak lagi menanam sayur secara berkeliling. Ia sekarang hanya kulakan sayur-sayuran di Pasar Oesapa atau Pasar Oesao, untuk kemudian menjualnya kembali.
"Sekarang sudah tidak menanam sayur lagi, saya hanya membeli di pasar kemudian menjualnya," ujar Bapak Uku. Dari hasil jualannya itu, ia mengaku tidak mendapat keuntungan yang relatif besar.
"Kalau ramai pembeli sehari bisa dapat Rp50.000 sampai Rp100.000, kalau sepi sayurnya dibawa pulang walau hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari," kata dia.
Meskipun penghasilan yang diperoleh tidak terlalu besar, tetapi Bapak Uku masih sempat menyisihkan sebagian pendapatan dari berjualan itu untuk kepentingan biaya sekolah anak-anaknya.
Ia memiliki keinginan yang besar untuk mengubah nasib kehidupan anak-anaknya menjadi lebih baik dengna menyekolahkan anak-anak hingga lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
"Biar pun saya hanya hidup seperti ini asalkan anak-anak saya bisa merasakan nikmatnya bangku sekolah," ujar bapak tujuh orang anak itu sambil tersenyum.
Dengan hidup apa adanya, Bapak Uku tetap mengutamakan pendidikan ketujuh anaknya tersebut. Segala upaya, ia lakukan agar anak-anaknya tidak putus sekolah.
Tak disangka, keenam anaknya kini berhasil menyelesaikan pendidikan di bangku SMA dan sekarang tersisa putri bungsunya yang masih menempuh pendidikan di SMAN 4 Kupang.
Bukan itu saja, bahkan Bapak Uku juga telah berhasil membawa salah seorang anaknya menyandang gelar Sarjana Pendidikan Kimia dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Suatu kebanggaan tersendiri bagi Bapak Uku dan isterinya, Mama Mia, dengan segala daya juang untuk dapat menyekolahkan anak-anak mereka. Ia ingin anak-anaknya tidak seperti dirinya yang hanya seorang pedagang sayur.
"Bapaknya boleh seorang pedagang sayur, tetapi anak-anaknya janganlah, setidaknya mereka bisa bekerja di kantoran," kata dia berharap.
Di mata anak-anaknya, Bapak Uku adalah pahlawan yang tegar berjuang melawan kerasnya hidup dan juga adalah teman dalam melewati suka maupun duka kehidupan. Tidak jarang anak-anaknya juga ikut membantu berjualan tanpa rasa malu dengan teman-teman mereka.
Keseharian Bapak Uku yang harus memikul beban di pundaknya dan berjalan berkilo-kilo meter membuat anak-anaknya cukup khawatir dengan kondisi kesehatannya.
"Saya kadang khawatir dengan umur yang sudah rentan tetapi bapak masih pikul berat dan berjalan jauh menjual sayur-sayurnya," kata Frid Teti, salah seorang anaknya yang bergelar sarjana pendidikan itu.
"Kadang bapak terlihat lelah sehingga kami menyuruhnya untuk beristirahat tetapi selalu saja berkata, tidak apa-apam bapak masih bisa..," kata dia menjelaskan.
Frid juga mengatakan walaupun dengan penghasilan seadanya, orang tuanya tetap mempunyai niat yang kuat untuk menyekolahkan anak-anaknya.
"Kami merasa beryukur dan bangga karena walaupun dengan penghasilan orang tua yang pas-pasan hanya untuk kebutuhan sehari-hari, namun masih bisa membiayai sekolah dan kuliah kami sampai selesai tanpa kendala sedikit pun," kata Frid yang kini sudah menjadi pegawai di laboratorium kimia Unwira Kupang.
Kini, semangat dan kerja keras Bapa Uku telah terbayar dengan berhasil membawa anak-anaknya memegang ijazah dan bahkan telah bekerja seperti yang diimpikannya.
Begitulah potret hidup seorang pedagang sayur dari Desa Mata Air, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terus bekerja hanya untuk mengubah perjalanan nasib anak-anaknya.
Artikel - Belajar dari semangat pedagang sayur Bapak Uku
"Saya kadang khawatir dengan umur yang sudah rentan tetapi bapak masih pikul berat dan berjalan jauh menjual sayur-sayurnya," kata Frid Teti.