Kupang (ANTARA) - Pada akhir Oktober 2019, PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Nusa Tenggara Timur menetapkan angka terbaru rasio elektrifikasi listrik untuk wilayah provinsi berbasis kepuluan ini sekitar 82,97 persen.
Rasio ini ditetapkan berdasarkan hasil kajian Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang yang dipublikasikan melalui kegiatan seminar dan deklarasi hasil verifikasi rasio elektrifikasi Provinsi NTT 2019 di Kota Kupang, pada 27 Oktober 2019.
Penentuan angka rasio ini bukan asal jadi karena pihak Undana bekerja sama pula dengan Badan Pusat Statistik (BPS) NTT dalam melakukan kajian lapangan.
“Kami berkoordinasi bukan saja soal metodologi tetapi seluruh mekanisme dari BPS yang harus ditaati sehingga kami bisa publiksaikan kondisi rasio elektrifikasi ini pada angka 82,97 persen itu,” kata Rektor Undana Kupang Prof Ir Fredik L Benu PhD.
Kajian tersebut menggunakan metode yang relatif berbeda dengan rasio elektrifikasi dari sumber kajian lain seperti Potensi Desa (Podes) yang menetapkan rasio sebesar 76 persen maupun versi SILISA dari PLN sebesar 74,4 persen.
Dalam kajian itu, pihaknya melakukan fokus group discussion dengan unsur terkait hingga tingkat dusun dan kepala keluarga yang menyebar pada sebanyak 532 desa yang dipilih berdasarkan verifikasi dari hasil Podes dan SILISA.
Menurut Rektor Undana Prof Fredik Benu, unit analisis dari kedua institusi tersebut bukan hanya di tingkat desa seperti Podes dan SILISA tapi langsung ke rumah-rumah warga di tingkat dusun.
Alhasil, angka rasio elektrifikasi NTT per Oktober 2019 pun disepakati sebesar 82,97 persen. Penandatangan deklarasi rasio elektriikasi pun akhirnya dilakukan Asisten II Setda Provinsi NTT Semuel Rebo, dengan General Manager PT PLN (Persero) UIW NTT Ignatius Rendroyoko.
Angka rasio terbaru ini menunjukkan bahwa masih ada “PR” bagi PLN untuk mengejar ketertinggalan rasio elektrifikasi sekitar 17,13 persen, untuk membebaskan seluruh wilayah provinsi berbasiskan kepulauan itu dari kegelapan.
Apakah rakyat di Bumi Flobamora (sebutan khas untuk NTT) ini, akan menikmati listrik secara total dalam tahun 2020 ini? Hanyalah PLN Wilayah NTT yang bisa menjawabnya.
GM PT PLN (Persero) UIW NTT Ignatius Rendroyoko mengemukakan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan hingga April 2019, terdapat sebanyak 24.681 rumah tangga di NTT masih dikategorikan miskin dari total keseluruhan sekitar 1.168.785 rumah tangga.
Dari jumlah rumah tangga miskin ini, terdapat sekitar 17.259 rumah tangga yang belum menikmati listrik alias masih gelap gulita. Karena itu, PLN terus bekerja mempercepat pembangunan jaringan listrik ke daerah pelosok NTT.
PLN menargetkan hingga akhir 2019, rasio elektrifikasi listrik di NTT akan bergerak naik mencapai 90 persen dan menembus hingga 100 persen pada 2020 mendatang.
Memang target ini tidak mudah tapi pihaknya tetap optimistis bahkan para petugas lapangan agak dipaksakan untuk mengejar penyambungan listrik ke rumah-rumah warga demi mencapai tujuan itu.Menerangi pulau
Ignatius mengkaui bahwa upaya untuk menerangi desa-desa di NTT memiliki tantangan yang sangat berat jika dibandingkan dengan daerah lain di Tanah Air.
NTT tidak hanya sebatas wilayah provinsi berbasis kepulauan, tetapi topografis wilayahnya juga sangat mengerikan, seperti lembah dan ngarai serta daerah pegunungan yang terjal yang nyaris tidak bisa dilalui dengan fasilitas angkutan apa pun.
NTT memiliki sekitar 1.192 pulau besar dan kecil dengan jumlah pulau yang berpenghuni sebanyak 44 pulau. Dari jumlah pulau yang berpenghuni ini, masih ada sekitar 25 pulau yang masih gelap gulita hingga pertengahan 2019.
Bagi PLN, pekerjaan untuk menerangi pulau-pulau yang belum berlistrik ini tampaknya membutuhkan strategi khusus, yakni dengan membangun kabel bawah laut (submarine cable).
Namun demikian penerapan teknologi ini, khususnya bagi pulau-pulau kecil berpenghuni yang jaraknya dekat dengan jaringan listrik eksisting di pulau besar, seperti Pulau Bajo yang hanya berjarak sekitar 300-400 meter dengan Labuan Bajo, ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat di Pulau Flores.
Selain itu, terdapat juga potensi sumber listrik lain yang cukup melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk menerangi pulau-pulau kecil di NTT yaitu Energi Baru Terbarukan (EBT), seperti di antaranya panas matahari, panas bumi, serta tenaga air dan tenaga bayu.
Pemanfaatan EBT, tampaknya menjadi pilihan jitu bagi PLN dalam upaya menjawab persoalan kelistrikan di pulau-pulau kecil yang masih gelap gulita, yakni dari sumber panas surya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Data yang diperoleh Antara menyebutkan bahwa target pembangunan PLTS oleh PLN NTT dalam tahun 2019 sudah sebanyak 11 unit untuk menerangi sejumlah pulau kecil yang belum terjangkau layanan PLN selama ini.
Hingga awal Desember 2019, sudah sebanyak 6 unit PLTS sudah tuntas dibangun, dan 5 unit di antaranya sudah diresmikan oleh mantan Menteri BUMN Rini Soemarno pada Oktober 2019.
PLTS tersebut antara lain menyebar di Desa Pasir Putih, Desa Seraya Maranu, dan Desa Batu Tiga di Kabupaten Manggarai Barat, Desa Nuca Molas di Kabupaten Manggarai dan Desa Usulanu di Kabupaten Rote Ndao, serta satu unit PLTS yang dibangun di Pulau Koja Doi, Kabupaten Sikka, yang diresmikan belakangan.
PLN NTT juga telah meresmikan tiga unit PLTS di Kabupaten Alor antara lain di Pulau Ternate, Pulau Treweng, dan Pulau Tribur. Dengan demikian, total PLTS yang sudah dibangun sebanyak 9 unit.
Hingga saat ini, PLN NTT memiliki 14 pembangkit listrik eksisting berdaya 14 MW yang bersumber dari pemanfaatan tenaga surya. Hingga tahun 2028, PLN NTT berencana membangun 26,4 MW daya listrik untuk daerah kepulauan di NTT yang belum berlistiik.
Ignatius Rendroyoko mengatakan peningkatan rasio elektrifikasi merupakan tugas yang penting yang harus diwujudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi maupun perkembangan sektor lainnya di berbagai wilayah pelosok NTT.Daya beli masyarakat
Persoalan listrik di NTT bukan hanya pada faktor ratio elektrifikasi yang harus dipenuhi oleh PLN, tetapi daya beli masyarakat juga menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Ignatius menuturkan, meskipun jaringan listrik mulai menjangkau hingga desa-desa, namun banyak rumah tangga yang belum bisa menikmatinya akibat kesulitan biaya penyambungan.
Atas dasar daya beli tersebut, PLN NTT kemudian menghadirkan program bantuan listrik gratis One Man One Hope untuk rumah tangga miskin di NTT agar mereka pun segera menikmati listrik.
Melalui program tersebut, para pegawai negeri dan kontrakan di lingkungan PLN NTT menyisihkan penghasilan paling kecil Rp750.000 untuk membantu satu keluarga miskin (satu jiwa satu harapan).
Hingga November 2019, bantuan telah disalurkan kepada 658 kepala keluarga yang tersebar di seluruh NTT dengan jumlah dana yang dihimpun sebesar Rp485.359.000.
Dalam upaya meningkatkan rasio elektrifikasi tampaknya membutuhkan sinergi bersama untuk menghadirkan program-program bantuan seperti dari kementerian yang sudah dilakukan maupun pemerintah daerah.
Atas dasar itu, rumah tangga yang kesulitan akan biaya penyambungan listrik didukung dengan subsidi anggaran dari masing-masing pemerintah daerah terutama pada 21 kabupaten di provinsi setempat.
Dengan demikian, mimpi besar PLN untuk menerangi seluruh Nusa Flobamora dari kegelapan malam, bisa terwujud, minimal mulai dicicil pada 2020 sebagai hadiah yang sangat istimewa bagi rakyat NTT yang tengah menikmati kemerdekaan..