Pengusaha NTT Tidak Terapkan UMP

id UMP

Pengusaha NTT Tidak Terapkan UMP

Ketua KSPSI Nusa Tengara Timur Stanis Tefa

"Bayangkan formula penetapan UMP 2017 saja di luar Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Para pengusaha pun tidak menerapkannya untuk menggaji para pekerja," kata Stanis Tefa.
Kupang (Antara NTT) - Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Nusa Tenggara Timur Stanis Tefa mengatakan ketentuan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2017 sebesar Rp1.525.000 tidak diterapkan oleh pengusaha dalam memberikan upah bagi pekerja di daerah setempat.

"Bayangkan formula penetapan UMP 2017 saja di luar Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Para pengusaha pun tidak menerapkannya untuk menggaji para pekerja," katanya di kupang, Minggu.

Padahal katanya penentuan upah minimum provinsi 2017 didasarkan pada nilai kebutuhan hidup layak (KHL) selain rumus angka kenaikan upah buruh itu sendiri.

Apabila UMP NTT 2017 yang ada saja tidak diterapkan dalam mengupah para pekerja sekitar 52 ribu tenaga kerja daerah setempat, bagaimana menuntut pemberian gaji kepada pekerja harus sesuai dengan nilai kelayakan dan tanggung jawab kerja yang dilakunkan saat jam kerja, maupun diluar jam kerja.

Hasil pantauan tim advokasi KSPSI di lapangan menemukan ada pekerja di sejumlah sarana dan prasarana usaha seperti penjaga toko, pembantu rumah tangga dan tenaga kerja sejenis lainnya hanya diberi upah percobaan.

Upah percobaan untuk tiga bulan pertama sebesar Rp150.000/bulan dan pada enam bulan pertama dinaikkan bervariasi menjadi Rp225.000 atau Rp250.000 hingga Rp300.000.

Demikian pula kata anggota DPRD NTT periode 2009-2014 itu bahwa di tempat usaha lain para pengusaha menghibur para pekerja dengan upah Rp500 ribu dan Rp750 ribu serta Rp800 ribu per bulan.

Lebih tragis lagi, katanya ada pekerja yang bekerja di toko, memutuskan untuk tinggal dan menetap di rumah dan toko (Ruko) tersebut.

Sehingga setiap kegiatan yang tidak terkait dengan pekerjaannya juga dikerjakan seperti sebagai pembantu rumah tangga, baby sisters, tukang cuci pakaian dan hostes, tidak diperhitungkan sehingga tetap digaji dengan upah dibawah Rp500 ribu per bulan atau tidak memenuhi standar layak hidup.

"Jadi para pekerja di daerah ini sudah bekerja selama delapan jam per hari selama tujuh hari, dibebankan lagi kerja sampingan di rumah toko tadi, tanpa ada penambahan uang sebagai kelebihan jam kerja atau pos kerja baru," katanya.

Sehingga terkesan bahwa minimnya gaji pekerja itu membuktikan kalau pemerintah dan DPRD di daerah setempat tidak berpihak kepada para pekerja yang telah ikut berkontribusi bagi pembangunan di daerah ini.

Karena itu perlu ada penertiban dari pemerintah melalui pengawas yang terseleksi dan terpilih dan memiliki mental dan karakter yang tidak lagi menambah panjang persoalan dengan melakukan "kong kali kong" antara pengawas dan pengusaha untuk tidak ada perubahan (menera[pkan UMP bagi pekerja).

Artinya banyak kali ada kejadian pengawas dari pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat melakukan pengawasan yang berakhir dengan hasil tidak ada perubahan atas nasib para pekerja, karena terjadi terjadi transaksi pungli di lapangan antara pengawas dan pengusaha.

Selain itu, katanya solusi lain adalah perlu penghitungan ulang dan merujuk pada KHL setempat dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang mengatur lebih lanjut tentang rumus angka kenaikan upah buruh ini yakni UMP tahun depan = UMP tahun berjalan + ( UMP tahun berjalan x (inflasi + pertumbuhan ekonomi).