Kupang (AntaraNews NTT) - Saban tahun, warga Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur terus-menerus dirundung kegelisahan dalam mendapatkan sumber air bersih yang memadai untuk menghadapi tantangan musim kemarau yang panjang.
Krisis air bersih yang membelenggu warga kota yang berada di selatan Pulau Timor dengan jumlah penduduk mencapai 430.000 jiwa ini terus mendapat sorotan dan perhatian serius dari berbagai kalangan.
Ini bukan tanpa alasan, mengingat Kota Kupang merupakan pusat roda pemerintahan dan pembangunan ekonomi di provinsi berbasiskan kepulauan ini. Pemerintah pusat pun tampaknya tidak tinggal diam dan memberikan jawaban terbaik penanganan krisis air yang dialami masyarakat di daerah ini.
Untuk itu, sejak tahun 2014, Presiden Joko Widodo mengalokasikan sebuah embung raksasa yang direncanakan akan dibangun di Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang.
Namun, sudah tiga tahun berlalu, rencana pembangunan tersebut tak kunjung terealisasi akibat tersandung persoalan yang melilitnya, yaitu masalah lahan.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya dalam banyak kesempatan mengatakan, Bendungan Kolhua merupakan alokasi bendungan yang paling pertama dari Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk Nusa Tenggara Timur.
"Namun persoalan lahan hingga saat ini tidak ada titik temu karena terus mendapat penolakan dari warga di sekitarnya," kata gubernur dua periode itu. Ia mengemukakan, pemerintah provinsi dengan berbagai upaya telah melakukan pendekatan, namun masih saja menghadapi kebuntuan.
Baca juga: Bendungan Kolhua Batal Dibangun
Baca juga: Bendungan dapat mengatasi krisis air di NTT
Padahal jika bendungan itu direalisasikan maka bisa membawa masyarakat di daerah ini keluar dari persoalan krisis air bersih yang melilitnya setiap tahun.
Jika Bendungan Kolhua itu berhasil dibangun maka akan menghasilkan sumber air dengan debit 150 liter per detik yang bisa melayani 15.000 pelanggan atau sekitar 160.000 jiwa.
Sekretaris Daerah Kota Kupang Bernadus Benu, mengakui meskipun telah terjadi pengalihan pendekatan pembebasan lahan ke pemerintah provinsi, namun pemerintah kota pun tetap "turun gunung" turut melakukan pendekatan.
"Ini sudah menjadi tekad kami, kami terus meyakinkan masyarakat akan pentingnya bendungan ini untuk mengatasi krisis air di Kota Kupang," katanya. Menurutnya, warga pemilik lahan pun tidak perlu khawatir karena pemerintah akan mengganti rugi lahannya sesuai aturan yang ada.
Terganjal Permainan Elite
Terganjalnya rencana pemerintah untuk membangun Bendungan Kolhua dalam upaya mengatasi krisis air bersih ini dinilai akibat permainan politik dari sejumlah elite yang melarang warga untuk menyerahkan lahannya.
"Inilah titik masalahnya, sehingga masih terus mengganjal rencana pemerintah untuk membangun Bendungan Kolhua yang direncanakan sejak 2014," kata Camat Maulafa, Korinus Tuan di Kupang.
Ia menjelaskan dari sekitar 60 pemilik lahan, hanya 12 pemilik lahan saja yang masih terbias oleh politisasi oknum elite yang mengatakan bahwa daerah itu akan tenggelam jika bendungan dibangun.
Baca juga: Pembangunan dua bendungan di NTT masih tertunda
"Ini kan informasi yang sangat menyesatkan. Kami akan terus berupaya meyakinkan masyarakat agar pembangunan bendungan Kolhua tetap dilaksanakan," katanya.
Korinus mengatakan lahan yang bakal digunakan untuk pembangunan bendungan tersebut hanyalah sawah musiman. Terdapat sekitar 30 - 40 hektare merupakan areal sawah tadah hujan, sementara lahan sisanya merupakan lahan kering.
"Dari 83 hektare lahan yang akan dimanfaatkan, hanya sekitar itulah lahan persawahan tadah hujannya. Selebihnya lahan kritis," katanya.
Dengan demikian, maka penolakan dengan alasan lahan pertanian, hanyalah sebuah alasan yang dibuat-buat, karena telah terjadi politisasi elite yang memanfaatkan warga sebagai tamengnya.
Batal dibangun
Belum lama ini, Pemerintah Provinsi NTT akhirnya terpaksa membatalkan rencana pembangunan Bendungan Kolhua setelah melewati panjang persoalan lahan yang berbelit-belit.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT Andre Koreh mengatakan, pembatalan ini merupakan pilihan terbaik untuk mengakhiri berbagai polemik dan kepentingan politik dibalik rencana pembangunan bendungan tersebut.
Ia menjelaskan, sejak 2008, pemerintah provinsi telah memilih untuk membangun bendungan di Kolhua karena dukungan alamnya yang memungkinkan sehingga diusulkan ke pemerintah pusat.
Baca juga: Pembangunan bendungan diharapkan turunkan angka penerima rastra
Memasuki awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla pada tahun 2014, lanjutnya, pemerintah pusat pun merestui rencana pembangunan bendungan ini.
"Alokasi Bendungan Kolhua ini yang pertama dari tujuh bendungan lainnya yang direncanakan dibangun di NTT, dan sudah ada anggaran yang disiapkan," katanya.
Menurut Andre, sudah ada anggaran untuk pembangunan Bendungan Kolhua, namun akibat polemik lahan yang berkepanjangan maka pemerintah pusat belum mau merealisasikannya.
Pemerintah kemudian memilih lokasi baru di Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu, untuk membangun bendungan yang sudah dialokasikan itu.
"Pak gubernur (Gubernur NTT Frans Lebu Raya) sudah mengambil langkah agar jatah tujuh bendungan tetap untuk NTT, sehingga beliau mengusulkan kepada Kementerian PUPR agar mengalihkan bendungan Kolhua ini ke Kabupaten Belu," ujarnya.
Dengan begitu, ada dua bendungan raksasa di Kabupaten Belu, ditambah sebelumnya Bendungan Rotiklot yang hampir selesai pengerjaannya.
Saat ini, salah satu dari tujuh bendungan raksasa yang dialokasikan untuk NTT sudah selesai dan telah diresmikan Presiden Joko Widodo yakni Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang.
Baca juga: Bendungan Harus Ada Pengelolahnya
Dua di antaranya sedang dalam proses pengerjaan yakni Bendungan Rotiklot dan Bendungan Napunggete di Kabupaten Sikka, Pulau Flores.
Selain itu, empat lainnya yang sudah dialokasikan yakni Bendungan Lambo di Kabupaten Nagekeo, Bendungan Manikin di Kabupaten Kupang, Bendungan Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), serta Bendungan Kolhua yang diusulkan untuk pengalihan.
Jika dari awal rencana pembangunan Bendungan Kolhua tidak menemukan kendala berarti, barangkali ini merupakan bendungan yang pertama beroperasi (mendahului Bendungan Raknamo) dari alokasi yang ada dan sudah dinikmati masyarakat di Kota Kupang.
Namun usulan pengalihan ini membuat pemerintah dan masyarakat di Kota Kupang terpaksa "gigit jari", karena membiarkan hilangnya sebuah peluang emas untuk memiliki bendungan raksasa guna mengatasi persoalan krisis air bersih yang saban tahun hampir selalu terjadi.
Feature - Hilangnya peluang mengatasi krisis air di Kupang
Jika dari awal rencana pembangunan Bendungan Kolhua tidak menemukan kendala berarti, barangkali ini merupakan bendungan yang pertama dinikmati masyarakat Kota Kupang.