Jakarta (ANTARA) - Solidaritas Indonesia untuk Pengungsi (Solidarity Indonesian for Refugee/SIR) meminta Pemerintah RI bersikap tegas terhadap Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).
Permintaan ini menyusul desakan UNHCR kepada Pemerintah RI agar mengizinkan kapal yang mengangkut puluhan pengungsi Rohingya berlabuh di perairan Aceh.
"Pengungsi yang berpuluh-puluh tahun di Indonesia masih tidak jelas statusnya di Indonesia, sekarang ditimbun pengungsi lain lagi. Pemerintah Indonesia tegas kepada UNHCR yang lamban mengatasi masalah pengungsi," kata Direktur Eksekutif Komunikasi Hubungan Antar-Lembaga SIR, Maryam, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, (30/12).
Maryam menegaskan Indonesia bukan negara yang meratifikasi konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang pengungsi dan pencari suaka, sehingga tidak ada kewajiban mengurus migrasi mereka.
Meski demikian, kata dia, sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri.
"Artinya Pemerintah Indonesia sudah tahu hak dan kewajiban terhadap para pengungsi dan wajib diawasi serta ditinjau kembali oleh Pemerintah Indonesia terhadap UNHCR," ujarnya.
Kini saatnya, kata Maryam, UNHCR serius mengatasi persoalan pengungsi, baik pengungsi yang baru datang di negara transit, maupun pengungsi yang sudah lama tinggal di Indonesia.
Ia menyarankan UNHCR harus melakukan komunikasi dengan negara penerima suaka dan negara transit.
"Setelah Pemerintah Indonesia menerima pengungsi kembali UNHCR lepas tangan? perlu ada komunikasi jika ingin mendapatkan solusi persoalan ini," katanya.
Untuk itu, Maryam berharap, pemerintah dan DPR segera memanggil UNHCR di seluruh Indonesia untuk meminta komitmen dan keseriusannya menangani para pengungsi di Indonesia. Jangan sampai, keterlambatan UNHCR mengurusi pengungsi yang transit di Indonesia membebani Indonesia.
"Jangan sampai kelambanan UNHCR mengurusi para pengungsi dan pencari suaka menjadi beban negara Indonesia," katanya.
Maryam mengatakan sudah belasan tahun 18 ribu pengungsi dari berbagai negara transit di Indonesia dan UNHCR tidak dapat menyelesaikan persoalan para pengungsi. Atas kejadian ini membuat mereka depresi melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketertiban umum di negara tempat mereka transit.
"Aksi mereka demonstrasi seperti jahit mulut, bakar diri, dan mendirikan tenda-tenda di badan jalan yang sebagai bentuk protes kepada UNHCR mengganggu ketertiban umum di Indonesia. Coba deh dari hati ke hati bertemu salah satu pengungsi. Mereka kewalahan menunggu nasib di Indonesia" katanya.
Baca juga: Pengungsi Afghanistan unjuk rasa di kantor Kemenkumham NTT
Maryam mengatakan Indonesia bukan menjadi negara yang meratifikasi konvensi 1951, sehingga tidak serta merta Indonesia terbebani dengan persoalan para pengungsi.
"Artinya prinsip non-refoulement tidak berlaku bagi Indonesia," katanya.
Baca juga: Pengungsi Afganistan kembali berunjuk rasa di depan kantor IOM
Seperti diketahui, ada 72 pengungsi di kapal pengangkut dan berada 112 kilometer dari bibir pantai Perairan Bireuen, Aceh. Kapal ini pertama kali terlihat pada Minggu (26/12) dan terombang-ambing di laut terbuka.