BKKBN bilang kunjungan Presiden ke NTT bentuk keseriusan hadapi stunting

id BKKBN,Stunting

BKKBN bilang kunjungan Presiden ke NTT bentuk keseriusan hadapi stunting

Potret sejumlah anak yang tinggal di Desa Kesetnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

...Sebagai salah satu unsur pentahelix dalam wujud konvergensi percepatan penurunan stunting, mitra kerja memiliki peran dan kontribusi bersama pemerintah

Timor Tengah Selatan (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan kunjungan Presiden ke Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Nusa Tenggara Timur, merupakan bentuk keseriusan negara dalam menghadapi stunting (kekerdilan) pada anak.

“Timor Tengah Selatan, NTT, sengaja menjadi titik tumpu kunjungan Presiden Joko Widodo. Mengingat NTT merupakan provinsi prioritas penanganan stunting dengan prevalensi 37,8 persen di tahun 2021, tertinggi dari angka rata-rata prevalensi stunting semua provinsi di tanah air yang mencapai 24,4 persen,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, (24/3).

Hasto mengatakan Desa Kesetnana yang akan dikunjungi oleh Presiden Joko Widodo pada Kamis (24/3), menjadi gambaran umum dari 278 desa yang ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki angka prevalensi kekerdilan mencapai 48,3 persen berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021.

Desa tersebut juga menjadi fokus utama Presiden karena kekerdilan yang terjadi disebabkan oleh sulitnya warga mendapatkan akses air bersih, kondisi ekonomi yang miskin dan rendahnya pendidikan sehingga hampir sebagian besar warga Desa Kesetnana, tidak memiliki jamban yang layak dan tak paham pentingnya edukasi kesehatan.

Di sisi lain, Presiden juga menyoroti hasil dari data SSGI 2021 yang menyebutkan NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori merah atau memiliki angka prevalensi kekerdilan di atas 30 persen.

Bahkan tujuh kabupaten/kota berkategori kuning atau angka prevalensinya menyentuh 20 hingga 30 persen. Mirisnya lagi, tak ada satupun kabupaten/kota yang berstatus hijau atau berpravelensi kekerdilan antara 10 hingga 20 persen.

Hasto menekankan persoalan tingginya angka prevalensi kekerdilan di NTT tak hanya bicara mengenai kesehatan ataupun kekurangan gizi pada anak saja.

Tetapi juga bagaimana sebuah keluarga mendapatkan akses fasilitas pelayanan kesehatan, dampak dari faktor kemiskinan serta rendahnya pendidikan yang menyebabkan pola asuh keluarga menjadi salah.

Hasto turut menekankan apabila pelibatan mitra kerja sangat penting untuk memperluas jangkauan intervensi, sesuai dengan kebutuhan sasaran dan potensi yang dimiliki mitra kerja.

Dengan demikian, dibutuhkan kerja sama dari semua pihak agar NTT dapat menurunkan angka kekerdilan tersebut.

“Sebagai salah satu unsur pentahelix dalam wujud konvergensi percepatan penurunan stunting, mitra kerja memiliki peran dan kontribusi bersama pemerintah,” kata Hasto.
 

Baca juga: BKKBN sebut Presiden akan pantau stunting pada empat titik keluarga di NTT

Baca juga: Kekerdilan di Manggarai Timur tersisa 2.766 orang