Kupang (AntaraNews NTT) - Majalah Focus, Jerman, beberapa waktu lalu menobatkan Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu di antara 33 pulau terindah di dunia.
Majalah internasional dengan oplah penjualan mencapai lima juta eksemplar yang disebarkan ke berbagai negara di dunia itu, memilih Pulau Sumba karena kekayaan alam dan budayanya yang melimpah dan memiliki daya pikat istimewa.
Pulau Sumba yang selalu dijuluki negeri Sandelwood itu memiliki keindahan padang sabana yang nan luas, jarang ditemukan di belahan dunia manapun.
Sumba adalah sebuah pulau di bagian selatan provinsi kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki luas 10.710 kilometer persegi.
Sumba berbatasan dengan Sumbawa di barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara
Di Pulau Sumba terdapat empat kabupaten, yakni Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya.
Pulau ini terkenal dengan alam laut dan pantai yang sangat eksotis, ada danau Weekuri, kekayaan wisata megalitik yang unik di dunia, serta berbagai produk budaya, seperti tenun ikat, rumah adat, serta budaya berkuda Pasola.
Terpilihnya Pulau Sumba sebagai salah satu pulau terindah di dunia, tentu akan menjadi daya dorong tersendiri bagi wisatawan untuk mengunjungi daerah itu.
Wisatawan mancanegara dan domestik yang semula hanya melirik Pulau Flores, karena ada destinasi wisata unggulan binatang purba Komodo di Manggarai Barat dan Danau Kelimutu di Kabupaten Ende, sedikit demi sedikit mulai bergeser ke Pulau Sumba.
Badan Pusat Statistik NTT mencatat jumlah wisatawan yang masuk Pulau Sumba melalui Bandara Tambola, Sumba Barat Daya dan Umbu Mehang Kunda di Sumba Timur pada April 2018 mencapai 16.661 orang.
Jumlah kunjungan ini mulai meningkat menjadi 16.971 orang pada Mei 2018 dan menjadi 18.838 orang pada Juni 2018.
Di pulau ini pula cukup tersedia fasilitas hotel, bahkan ada hotel berkelas dunia, yakni Hotel Nihiwatu.
Namun, khusus untuk Hotel Nihiwatu, para wisatawan harus merogoh kocek yang dalam, karena harganya yang sangat mahal hingga mencapai ratusan juta rupiah untuk menginap semalam.
Hanya saja, infrastruktur pendukung seperti akses jalan, penerangan, air bersih, serta telekomunukasi dan internet belum sepenuhnya mendukung sehingga wisatawan merasa kurang nyaman.
Para wisatawan tidak bisa melakukan komunikasi dengan dunia luar, saat berada di lokasi-lokasi wisata maupun hotel-hotel tertentu di wilayah itu.
Di Hotel Mario misalnya. Di hotel yang terletak di bibir Pantai Kita Manangga Aba, Desa Ramadana, Kecamatan Loura, sekitar 10 kilometer dari pusat ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya, tidak ada jaringan telepon maupun internet.
Akses jalan pun berlubang-lubang dan berdebu, sedangkan pada malam hari gelap gulita karena tidak ada penerangan yang terpasang di sekitarnya.
Ketua Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Provinsi NTT Abed Frans mengatakan pemerintah perlu membangun fasilitas, terutama akses jalan menuju lokasi-lokasi wisata.
"Utama adalah akses jalan untuk memudahkan transportasi bagi wisatawan yang akan berkunjung ke objek-objek wisata, selain air bersih dan penerangan," katanya.
Menurut dia, tidak semua wisatawan membutuhkan akses komunikasi karena tidak ingin diganggu saat liburan.
Akan tetapi, semua sarana dan prasana pendukung pariwisata, seperti jalan, air bersih, komunikasi, dan penerangan adalah hal penting yang harus disiapkan pemerintah untuk mendukung kemajuan pariwisata di suatu wilayah.
Para pengusaha yang ingin melakukan investasi dengan membangun hotel maupun restoran yang baik di suatu daerah tidak boleh dibebani dengan hal-hal yang memang menjadi kewajiban pemerintah.
"Semua harus bersinergi, jika kita ingin pariwisata di NTT ini bisa berkembang ke arah yang lebih baik," katanya menjelaskan.
Pengusaha pariwisata yang juga pemilik Hotel Mario Sumba Barat Daya Aloysius Purwa mengatakan tanpa internet yang kuat, mustahil daerah mampu menggerakkan sektor pariwisata sebagai lokomotif ekonomi suatu daerah.
"Akses internet sekarang lebih penting dari pada makan dan minum. Jadi kalau tidak ada internet maka mustahil sebuah daerah mampu menggerakan sektor pariwisata, yang mampu menciptakan berbagai lapangan kerja," katanya.
Kendala yang dihadapi pihaknya dan pengunjung hotel, yakni ketiadaan jaringan telekomunikasi seluler sehingga pengunjung pun kesulitan mengakses internet dan menelepon.
"Saya ke Pulau Sumba untuk membantu saudara-saudara di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam memajukan sektor pariwisata di provinsi berbasis kepulauan itu. Kalau hanya sekadar mencari uang maka, maka tempatnya bukan di NTT, tetapi di Bali," katanya.
Hotelnya sudah mulai beroperasi sejak 2015, akan tetapi sampai saat ini belum dibangun fasilitas komunikasi di kawasan wisata itu.
"Berapa tahun lalu kami membangun menara sendiri untuk bisa mengakses jaringan seluler, tetapi tidak bisa," katanya.
Oleh karena itu, Aloysius berharap, pihak terkait bisa segera membenahinya dengan memasang menara dan perangkat Base Transceiver Station (BTS) untuk jaringan telekomunikasi seluler.
Selain tidak ada akses jaringan komunikasi, infrastrukur jalan ke pantai itu pun berlubang-lubang. Saat malam dengan gelap gulita yang menyergap karena ketidaan lampu penerangan jalan, membuat suasana menakutkan bagi mereka yang ingin ke hotel itu untuk menginap.
Akibatnya, waktu tempuh ke hotel yang hanya berjarak sekitar 10 kilometer dari kota itu pun lebih lama sekitar 25-30 menit karena kondisi jalan yang berlubang-lubang.
"Hotel ini sangat indah karena berada di tepian pantai, tetapi sayang sekali karena tidak ada jaringan telepon, apalagi internet. Perjalanan menuju hotel juga membosankan, karena kondisi jalan," kata Geradus Manyela, wartawan Harian Pos Kupang.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT Andre Koreh mengakui kekayaan destinasi wisata daerah itu belum didukung penyediaan infrastruktur jalan yang memadai.
"Bicara pariwisata harus didukung infrastruktur yang baik. Pemerintah baru menggarap dua kawasan. Kesulitannya tidak ada kepastian pemanfaatan ruang. Tidak ada rencana tata ruang secara detail atau terperinci. Ini yang membuat daya saing lemah," kata dia.
Menurut dia, NTT bisa mengembangkan kawasan budi daya menjadi destinasi wisata, seperti hutan produksi, kawasan pariwisata alam, budaya, dan buatan.
Tetapi karena infrastruktur tidak memadai, maka destinasi wisata itu tidak bisa dikembangkan.
"Orang mau berkunjung ke objek wisata kalau aman dan nyaman. Kalau objek bagus, jalan jelek, dia datang sekali dan tidak akan kembali lagi," ujarnya.
Andre mengatakan pemerintah provinsi tidak bisa berbuat banyak karena alokasi anggaran untuk pembangunan jalan sangat kecil dan juga soal kewenangan.
"Objek pariwisata itu berada jauh dari pusat kota. Kalau mau bangun jalan di situ, tapi jalan itu adalah jalan kabupaten. Provinsi tidak bisa intervensi, karena dinilai menyalahgunakan kewenangan, dan itu bisa dipidana," tegasnya.
Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora dalam kesempatan terpisah mengatakan bahwa pemerintahan saat ini fokus mengembangkan berbagai infrastruktur penunjang di daerah tujuan wisata baru.
"Terutama infrastruktur jalan dan jembatan karena banyak objek wisata baru di Pulau Sumba masih sulit aksesnya," kata dia.
Artikel - Menyoal infrastruktur pariwisata di Sumba
Akan tetapi, semua sarana dan prasana pendukung pariwisata, seperti jalan, air bersih, komunikasi, dan penerangan adalah hal penting yang harus disiapkan pemerintah untuk mendukung kemajuan pariwisata di suatu wilayah.