Kupang (Antara NTT) - Komisi IX DPR-RI, bersama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), membahas sejumlah masalah ketenagakerjaan di daerah itu yang belum tuntas.
"Kunjungan ini secara sepesifik membahas kondisi NTT yang selama ini merupakan salah satu provinsi yang rawan persoalan ketenagakerjaan," kata Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi IX DPR Dede Yusuf di Kupang, Selasa, (6/12).
Kunjungan kerja yang disambut langsung Wakil Gubernur NTT Benny Alexander Litelnoni itu dihadiri pula perwakilan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, APINDO NTT, BPJS NTT, dan pejabat dari dinas teknis terkait.
Dede Yusuf menyebutkan, ada beberapa persoalan strategis yang penting dibicarakan bersama terkait ketenagakerjaan di daerah setempat seperti TKI ilegal, jaminan ketenagakerjaan serta, pengupahan.
"Kita berharap berbagai kendala yang dialami pemerintah bisa di-share-kan langsung, termasuk kebijakan dari pusat yang dianggap belum bisa menjawab persoalan yang ada," kata politisi dari F-Demokrat itu.
Wakil Gubernur NTT Benny Alexander Litelnoni pada kesempatan itu mengkaui, banyak persoalan ketenagakerjaan di daerah setempat yang belum diselesaikan secara komprehensif, salah satunya persoalan upah.
"Banyak perusahaan yang tidak memberikan target pengupahan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015," katanya.
Dia mengatakan, untuk upah minimum provinsi (UMP) di daerah setempat yang ditentukan untuk tahun 2017 sebesar Rp 1.525.000.
"Harus diakui bahwa UMP kita masih jauh lebih kecil dibandingkan daerah lain, meskipun sudah ditetapkan sesuai dengan berbagai pertimbangan melalui Dewan Pengupahan," katanya.
Selain itu, kata Benny, masih banyak pula tenaga kerja yang berangkat keluar negeri melalui jalur ilegal dengan pemalsuan sejumlah dokumen dan paspor.
"Tenaga kerja berangkat melalui "jalur tikus" dan ketika mengalami kecelakaan atapun kematian baru informasinya diperoleh pemerintah," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah setempat telah menempuh berbagai upayah pencegahan baik melalui satgas gabungan maupun membentuk layanan satu pintu ketenagakerjaan.
Dia juga berharap agar DPR juga bisa memperhatikan kebijakan terkait perusahaan perekrut tenaga kerja setempat yang diketahui berpraktek menyimpang memperdagangkan tenaga kerja.
"Selama ini perusahaan perekrut tenaga kerja di NTT kebanyakan dari Jawa namun tenaga kerja yang direkrut itu kemudian diover lagi ke perusahaan lain," demikian Benny Alexander Litelnoni.