Opini - Indonesia Merdeka, akhir dari kisah panjang perjuangan bangsa

id Indonesia Merdeka, HUT RI,penjajah belanda,perjuangan panjang

Opini - Indonesia Merdeka, akhir dari kisah panjang perjuangan bangsa

Sebuah perahu hias mengikuti Festival Merah Putih di Sungai Krueng Aceh, Banda Aceh, Senin (15/8/2022). Festival Merah Putih yang dimeriahkan parade perahu hias, lomba perahu karet dan atraksi Jetski yang melibatkan TNI,Polri, BUMN, Basarnas dan masyarakat itu dalam rangka menyambut perayaan HUT ke-77 Kemerdekaan RI. ANTARA FOTO/Ampelsa/rwa.

...Setelah serangkaian derita dan peperangan yang terjadi di berbagai daerah, bangsa Indonesia akhirnya bisa menghirup udara segar kemerdekaan pada 17 Agustus 1945
Jakarta (ANTARA) - Kemerdekaan adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Anugerah yang tidak datang secara tiba-tiba tentu saja, melainkan berasal dari perjuangan panjang selama ratusan tahun.

 Setelah serangkaian derita dan peperangan yang terjadi di berbagai daerah, bangsa Indonesia akhirnya bisa menghirup udara segar kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Sejak saat itu, gegap gempita kemerdekaan meluas ke seantero Nusantara. Tentu tidak ada manusia Indonesia yang tidak senang dengan dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta, mengingat panjangnya penantian. Bahkan satu persatu bangsa-bangsa di dunia juga turut bahagia, serta mendukung dan mengakui kedaulatan Indonesia.

Lalu adakah bangsa lain yang tidak senang dengan kemerdekaan Indonesia? Jawabannya bukan lagi tidak senang, tetapi bahkan kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai malapetaka besar. Dalam hal ini Belanda menjadi pihak yang tidak mampu menyembunyikan kegalauan atas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Ungkapan kekhawatiran akan lepasnya (merdekanya) Indonesia sudah terdengar jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan. Belanda menjadi pihak yang amat sensitif atas potensi itu. Hal ini karena selama ratusan tahun lamanya, kebahagiaan dan harta yang dinikmati oleh Negeri Kincir Angin itu berasal dari keringat dan darah rakyat Hindia (Indonesia).

Indisch verloren

Ungkapan “Hindia hilang petaka datang” atau yang dalam bahasa populer Belanda, Indisch verloren rampspoed geboren, sebenarnya telah muncul puluhan tahun sebelum Indonesia merdeka. Tepatnya sejak para perwira angkatan laut Belanda bergumul dalam suatu lembaga bernama Onze Vloot yang didirikan tahun 1912.

Lembaga ini menjadi simbol kepentingan pihak swasta Belanda yang telah menanamkan modalnya di Hindia dalam jumlah fantastis. (C.G.S Sanberg, Nederlan’s Ondergang). Tidak mengherankan bila Onze Vloot menjadi tempat bercokolnya tokoh-tokoh konservatif yang menyuarakan perlunya otoritas kerajaan Belanda menggenggam Hindia dengan genggaman yang amat erat.

Tujuannya agar Hindia yang menjadi sumber penopang kesejahteraan Belanda dan sekaligus lumbung investasi kaum kapitalis ini tidak lepas atau direbut oleh bangsa penjajah lain. Dari situ kemudian muncul wacana untuk bagaimana agar Hindia terlindung dari bahaya yang mengancam.

Opsi yang kemudian banyak digemakan ialah tentang perlunya Hindia Belanda dilindungi oleh suatu armada laut yang kuat. Karena jarak antara negeri induk jajahan begitu jauh, dan koordinasi dinilai akan berjalan lambat, maka opsi untuk memperkuat angkatan perang di Hindia dianggap sebagai kebutuhan mendesak.

Kampanye tentang penguatan angkatan perang tidak berhenti pada upaya untuk membentuk milisi Hindia atau Indie Werbaar. Tetapi juga meluas pada tuntutan perlunya membuat suatu rancangan undang-undang armada bagi Hindia Belanda. Yang terakhir ini akhirnya menjadi aspirasi yang banyak disuarakan politisi nasionalis konservatif Belanda hingga kemudian dibahas dalam parlemen Belanda (Tweede Kamer) di tahun 1923.

Baca juga: Opini - N-250 Gatotkoco, pembuktian kemampuan anak bangsa

Tidak sampai di situ, usulan undang-undang bidang pertahanan ini bahkan sampai masuk sidang pembahasan Volksraad setahun setelahnya. Jaap Anten dalam karya Navalisme nekt onderzeeboot: de invloed van internationale zeestrategieën op de Nederlandse zeestrategie voor de defensie van Nederlands-Indie, 1912-1942 menyebutkan bahwa Belanda sangat berkepentingan menjaga Hindia melalui program modernisasi alutsista berapapun biaya yang diperlukan.

Dapat dipastikan di sini bahwa sejak tahun 1920an, Belanda sudah menyadari dua bahaya besar yang mengancam. Pertama terkait dengan besarnya kemungkinan rakyat di Hindia untuk berjuang meraih kemerdekaan. Kedua, adanya kemungkinan akan jatuhnya Hindia ke pangkuan Jepang.

Bahaya yang kedua ini menjadi kenyataan di tahun 1942. Belanda harus rela terusir dan menjauh dari Hindia. Tetapi sesungguhnya mereka tidak benar-benar menjauh. Dalam kurun waktu antara tahun 1942 sampai 1945, Belanda dengan sabar melakukan pencermatan situasi yang terjadi di Hindia sambil menanti saat yang tepat untuk kembali menjajah Hindia.

Dan, ketika Jepang hancur di palagan Pasifik, Belanda mulai mengendap-ngendap di punggung sekutu untuk kemudian bersiap mencaplok Indonesia. Mereka tidak peduli dengan gema proklamasi kemerdekaan yang dibacakan atas nama bangsa Indonesia. Yang ada dalam benak para pemimpin Belanda ketika itu adalah bayang-bayang kesengsaraan ekonomi setelah Perang Dunia II.

Baca juga: Opini - RUU Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi serta turunannya

Belanda larut pada ketakutan akut sampai-sampai tidak mampu membayangkan bagaimana membangun ekonomi Belanda yang hancur akibat PD II tanpa keberadaan Indonesia yang sudah merdeka. Akhirnya kurang dari satu bulan setelah proklamasi dikumandangkan, Belanda kembali menginjakkan kakinya di bumi Nusantara.

Bangsa Indonesia yang sudah mengunci kemerdekaan sebagai harga mati kemudian melakukan perlawanan sengit karena tidak rela kemerdekaan yang sudah diraih akan kembali direnggut penjajah Belanda. Tak pelak berbagai pertempuran antara tentara Belanda dan Indonesia meletus pada masa-masa berikutnya. Kondisi ini berlangsung sekitar hampir empat tahun lamanya, yakni sejak akhir tahun 1945 sampai akhir tahun 1949, sebelum akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.

Belanda harus mengakui kenyataan bahwa menjajah kembali bangsa yang memiliki tekad kuat untuk merdeka adalah pekerjaan yang nyaris mustahil dilakukan.

Dirgahayu Republik Indonesia !!!




*) Hasan Sadeli adalah Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI)
 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Indonesia Merdeka, akhir dari kisah panjang perjuangan bangsa