Artikel - Menjaga agar tentara bayaran ala Wagner tak lagi menjadi alat konflik

id wagner,tentara bayaran,konflik rusia ukraina,artikel perang Oleh M Razi Rahman

Artikel - Menjaga agar tentara bayaran ala Wagner tak lagi menjadi alat konflik

Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Rabu (7/0/2022). (ANTARA/Aria Cindyara)

...Merupakan fenomena yang mencemaskan bila semakin lama tentara bayaran akan semakin mendapat panggung sebagai alat aktif yang terlibat dalam konflik antarnegara atau antarpemerintahan
Jakarta (ANTARA) - Tentara bayaran adalah pasukan yang tidak berguna dan berbahaya, serta bila seorang penguasa mengandalkan tentara bayaran, maka ketenangan dan keamanan dipastikan tidak akan pernah dicapai oleh penguasa negara itu.

Fakta yang bisa ditarik dari tentara bayaran adalah mereka tidak memiliki alasan lain untuk terlibat tetap berjuang di medan pertempuran, sebagian karena gaji yang dinilai tidak cukup untuk membuat mereka rela mati demi sang penguasa.

Mengenai pemimpin dari tentara bayaran, bila sang panglima pasukan bayaran tersebut adalah orang yang terlatih betul, maka umumnya mereka tidak bisa dipercaya karena orang tersebut dinilai berupaya mencari keagungannya sendiri, bisa dengan cara menindas penguasa yang menyewanya.

Pandangan sebagaimana terpapar di atas bukanlah berasal dari komentator politik atau pakar kemiliteran di abad ke-21 mengenai tentara bayaran Wagner yang berperang di pihak Rusia dalam perang di Ukraina, dan kemudian melakukan pemberontakan yang gagal.

Semua pandangan di atas itu berasal dari buku "Il Principe" karya diplomat dan filsuf Niccolo Machiavelli, yang hidup pada masa Renaissance.

Buku "Il Principe" itu sendiri ditulis oleh Macchiavelli pada 1513, atau tepat 510 tahun yang lalu. Namun, pandangannya masih relevan sampai sekarang.

Dalam karyanya tersebut, Macchiavelli memberikan sejumlah contoh mengenai kerajaan atau negara yang bergantung kepada tentara bayaran, maka tidak akan bisa mendatangkan kemenangan yang berkelanjutan.

Contohnya adalah Kartago, kekaisaran masa kuno yang awalnya bersaing dengan Kekaisaran Romawi, tetapi akhirnya malah menderita kekalahan dan dicaplok oleh Romawi karena pasukan bayarannya berakhir ikut melawan mereka sendiri.

Begitu pula dengan Italia, yang pada era Macchiavelli terpecah menjadi negara-negara kecil yang sangat tergantung kepada tentara bayaran untuk mempertahankan wilayahnya. Walhasil, Kerajaan Prancis yang memiliki angkatan perang mandiri dapat menundukkan banyak daerah di Italia.

Setelah era Macchiavelli, peran tentara bayaran sedikit demi sedikit semakin berkurang, terutama setelah konsep nasionalisme dan negara kebangsaan semakin mendominasi pemikiran politik yang awalnya diasah di Eropa dan diekspor melalui kolonialisme ke berbagai penjuru dunia.

Sejumlah negara, bahkan dengan tegas melarang warga negaranya untuk berperang bersama pihak asing kecuali di bawah naungan tentara nasional negara itu.

Austria, misalnya, memiliki produk perundangan yang menyatakan bahwa bila warga negaranya terbukti bekerja sebagai tentara bayaran untuk negara lain, maka kewarganegaraan Austrianya akan dicabut.

Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, Jerman, dan Prancis, juga melarang warganya menjadi tentara bayaran negara lain, meski terkadang dalam sejumlah kasus, seperti menjadi "sukarelawan tempur", ada yang dibiarkan begitu saja, seperti dalam pembentukan Brigade Internasional dalam Perang Saudara di Spanyol yang berlangsung pada 1936-1939.

Pada abad ke-21 yang dapat disebut sebagai era digitalisasi ini, ternyata masih ada tentara bayaran seperti Wagner yang berperang di pihak Rusia.


Bayaran Rp30 triliun