Meski demikian, kebanyakan pekerja migran Indonesia yang dapat merasakan gaji sebenarnya adalah mereka yang memiliki izin kerja. Mereka menandatangani kontrak kerja sehingga memiliki posisi tawar kuat dengan perusahaan atau majikan.
Adapun mereka yang masuk dan kemudian bekerja secara ilegal tanpa memiliki izin kerja yang sah, harus rela jika diupah rendah. Terkadang tidak berbeda jumlahnya dengan gaji yang diterima di Indonesia.
Dengan harga kebutuhan hidup harian yang lebih tinggi dengan di Jakarta, gaji sebesar RM750 atau sekitar Rp2,7 juta per bulan tentu tidak mencukupi untuk hidup layak di Malaysia.
Tidak ada uang yang tersisa untuk bisa ditabung sehingga akhirnya sulit bagi mereka untuk pulang ke tanah air.
Padahal sejak 1 Maret hingga 31 Desember 2024, program Repatriasi Migran sedang dijalankan di Malaysia. Pendatang asing tanpa izin (PATI) bisa pulang tanpa melewati proses hukum, dengan membayar denda antara RM300 atau sekitar Rp1 juta hingga RM500 atau sekitar Rp1,8 juta.
Mereka-merekalah pekerja migran Indonesia rentan di Malaysia yang “terjebak” dan membutuhkan kehadiran negara.
Banyak pula yang dalam kondisi sakit parah sehingga semakin sulit untuk menghasilkan uang untuk berobat, pulang ke tanah air, atau bahkan sekadar bertahan hidup di Malaysia.
Dalam beberapa wawancara sebelumnya, Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia Hermono mengatakan kebanyakan dari mereka yang menghadapi isu demikian adalah perempuan pekerja migran. Mereka menjadi yang paling rentan, dari mulai tidak digaji hingga mengalami penyiksaan.
Karena itu Hermono selalu “wanti-wanti”, mengingatkan, agar pekerja migran Indonesia yang masuk dan bekerja di Malaysia melalui prosedur yang benar dan berdokumen lengkap. Dengan cara itu, posisi tawar pekerja migran Indonesia saat bekerja di Malaysia juga kuat.
Sebetulnya banyak juga dari pekerja migran Indonesia yang sudah ada di Malaysia mencoba untuk mengikuti aturan, mengurus izin kerja. Namun tidak sedikit yang tertipu oleh agen, dan akhirnya kehilangan uang yang sangat besar.
Renata, pekerja migran Indonesia asal Lampung, siang itu mengatakan mengikuti Program Rekalibrasi Pekerja yang dibuka pada 2023 lalu oleh pemerintah Malaysia.
Majikan, menurut dia, mengajukan proses itu via agen dan dirinya sudah mengeluarkan uang hingga RM7.000 sekitar Rp25 juta, namun hingga hari ini masih belum juga mendapatkan izin kerja yang dimaksud. Program Rekalibrasi Pekerja pun sudah ditutup sejak akhir tahun 2023, berganti dengan Program Rekalibrasi Migran yang membuka peluang pendatang asing tanpa izin pulang secara sukarela dan tidak dikenai hukuman.
Itu bukan kali pertama dirinya merasa tertipu saat berusaha mendapatkan izin kerja. Karena sebelumnya ia mengatakan sudah pernah pula mengajukan via agen dan sudah mengeluarkan lebih dari RM2.000 atau sekitar Rp7 juta.
“Kalau paspor tak hilang tak masalah. Ini visa kerja enggak dapat, paspor juga hilang,” ujar dia, yang juga menjelaskan paspor akhirnya hilang dibawa agen tersebut.
Saling bantu
Artikel - Asa pekerja migran RI di Malaysia dari Kabinet Merah Putih
...mewakili pekerja migran Indonesia di Malaysia, mereka berharap dipermudah dalam mengurus semua keperluan perizinan kerja sehingga mereka dapat bekerja lebih tenang