Opini - Kecerdasan buatan untuk dunia pertanian
...Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) sebagian besar dibangun berdasarkan metode jaringan saraf buatan. Metode ini mulai berkembang pada tahun 1940-an dengan model yang dirancang untuk meniru cara kerja otak manusia
Dalam pertanian, teknologi AI digunakan untuk memprediksi hasil panen dari citra satelit, memprediksi kebutuhan pupuk melalui analisis tanah, dan memantau kondisi tanaman.
Contoh penerapan AI dalam pertanian di Indonesia adalah penelitian yang dilakukan oleh Dhimas Wiratmoko dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Selama studi S3-nya di Universitas Sumatera Utara, Dhimas mengembangkan sistem berbasis web yang menggunakan citra satelit untuk memprediksi status nutrisi daun kelapa sawit. Tradisionalnya, petani harus mengirimkan sampel daun ke laboratorium untuk dianalisis, yang memakan waktu lama.
Dengan teknologi berbasis AI, proses ini dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efisien, memungkinkan petani di Sumatera Utara untuk memperkirakan status nutrisi tanaman mereka dalam skala luas.
Demikian pula ada peneliti Indonesia, Rudiyanto, yang saat ini mengajar di Universitas Malaya, Terengganu, mengembangkan model yang dapat memantau pertumbuhan padi di mana saja di seluruh dunia.
Di Australia ada Marliana Widyastuti, mahasiswa dari Indonesia yang studi di University of Sydney mengembangkan metode yang dapat memantau kadar air tanah di seluruh Pulau Tasmania secara secara real time. Data ini digunakan petani untuk mengetahui waktu dan jumlah air irigasi diperlukan.
Selain itu, di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), peneliti seperti Dr. Yiyi Sulaeman dan Dr. Destika Cahyana bersama peneliti di IPB University telah menggunakan machine learning untuk menghasilkan peta tanah yang lebih detail hingga tingkat subgroup.
Peneliti lain seperti Fadhlullah Ramadhani, PhD banyak mengembangkan aplikasi berbasis AI untuk peternakan seperti domba maupun tanaman hortikultura seperti bawang. Hal serupa dilakukan oleh Dr. Sari Intan Kailaku yang menggunakan machine learning untuk memonitor rantai pasok pascapanen mangga, memberikan informasi yang sangat berharga untuk pengambilan keputusan di sektor pertanian.
AI berpotensi membawa banyak manfaat di berbagai tahap dalam proses pertanian, mulai dari penanaman hingga panen dan pemasaran. Namun, penerapannya masih terbatas oleh ketersediaan teknologi dan infrastruktur.
Sebagai contoh, meskipun saat ini kita dapat membayangkan adanya aplikasi ponsel yang mampu menganalisis gambar tanaman dan memberikan rekomendasi aplikasi pupuk secara otomatis, hal tersebut belum sepenuhnya terealisasi karena keterbatasan sensor dan model matematis yang ada saat ini.
Di masa depan, AI diperkirakan akan semakin berkembang dan terjangkau, memungkinkan petani untuk memanfaatkan teknologi ini dalam skala yang lebih luas.
Contohnya, di Australia, robot yang dilengkapi AI digunakan untuk mengidentifikasi dan menargetkan gulma secara otomatis, mengurangi penggunaan bahan kimia hingga 96 persen.
AI juga telah membantu petani mengoptimalkan penggunaan air dalam irigasi, memprediksi waktu penyiraman yang ideal berdasarkan data cuaca dan kondisi tanaman, yang pada gilirannya meningkatkan efisiensi penggunaan air.
Di sektor peternakan, AI digunakan untuk memantau kesehatan hewan secara real-time menggunakan sensor dan kamera, mendeteksi tanda-tanda awal penyakit sehingga dapat diambil tindakan lebih cepat.
Misalnya, mesin pemerah susu robotik yang dilengkapi AI kini mampu melacak perilaku sapi, memberikan data yang sangat berguna untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan hewan.
Penerapan AI juga telah merambah ke penggunaan drone yang dilengkapi teknologi AI untuk memantau kondisi tanaman dan hasil panen.
Drone ini mampu mendeteksi wabah hama, memprediksi hasil panen, dan bahkan membantu dalam proses pengemasan buah dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Meskipun investasi awal dalam teknologi AI masih cukup besar, manfaat jangka panjang yang diperoleh dari efisiensi operasional, penghematan sumber daya, dan peningkatan produktivitas menjadikan AI sebagai investasi yang berharga di sektor pertanian.
Diharapkan, seiring dengan berkembangnya teknologi, AI akan menjadi semakin terjangkau sehingga petani kecil pun dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan hasil pertanian mereka.
Dengan demikian, kontribusi ilmuwan seperti John J. Hopfield dan Geoffrey E. Hinton dalam pengembangan AI bukan hanya membawa perubahan besar di dunia ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi masa depan pertanian di seluruh dunia.
*) Penulis adalah guru besar pertanian di University of Sydney, Australia.
Baca juga: Opini - Menanti arah kebijakan pendidikan Prabowo
Baca juga: Opini - APBN 2025 berdayakan Indonesia keluar dari "middle income trap"
Contoh penerapan AI dalam pertanian di Indonesia adalah penelitian yang dilakukan oleh Dhimas Wiratmoko dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Selama studi S3-nya di Universitas Sumatera Utara, Dhimas mengembangkan sistem berbasis web yang menggunakan citra satelit untuk memprediksi status nutrisi daun kelapa sawit. Tradisionalnya, petani harus mengirimkan sampel daun ke laboratorium untuk dianalisis, yang memakan waktu lama.
Dengan teknologi berbasis AI, proses ini dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efisien, memungkinkan petani di Sumatera Utara untuk memperkirakan status nutrisi tanaman mereka dalam skala luas.
Demikian pula ada peneliti Indonesia, Rudiyanto, yang saat ini mengajar di Universitas Malaya, Terengganu, mengembangkan model yang dapat memantau pertumbuhan padi di mana saja di seluruh dunia.
Di Australia ada Marliana Widyastuti, mahasiswa dari Indonesia yang studi di University of Sydney mengembangkan metode yang dapat memantau kadar air tanah di seluruh Pulau Tasmania secara secara real time. Data ini digunakan petani untuk mengetahui waktu dan jumlah air irigasi diperlukan.
Selain itu, di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), peneliti seperti Dr. Yiyi Sulaeman dan Dr. Destika Cahyana bersama peneliti di IPB University telah menggunakan machine learning untuk menghasilkan peta tanah yang lebih detail hingga tingkat subgroup.
Peneliti lain seperti Fadhlullah Ramadhani, PhD banyak mengembangkan aplikasi berbasis AI untuk peternakan seperti domba maupun tanaman hortikultura seperti bawang. Hal serupa dilakukan oleh Dr. Sari Intan Kailaku yang menggunakan machine learning untuk memonitor rantai pasok pascapanen mangga, memberikan informasi yang sangat berharga untuk pengambilan keputusan di sektor pertanian.
AI berpotensi membawa banyak manfaat di berbagai tahap dalam proses pertanian, mulai dari penanaman hingga panen dan pemasaran. Namun, penerapannya masih terbatas oleh ketersediaan teknologi dan infrastruktur.
Sebagai contoh, meskipun saat ini kita dapat membayangkan adanya aplikasi ponsel yang mampu menganalisis gambar tanaman dan memberikan rekomendasi aplikasi pupuk secara otomatis, hal tersebut belum sepenuhnya terealisasi karena keterbatasan sensor dan model matematis yang ada saat ini.
Di masa depan, AI diperkirakan akan semakin berkembang dan terjangkau, memungkinkan petani untuk memanfaatkan teknologi ini dalam skala yang lebih luas.
Contohnya, di Australia, robot yang dilengkapi AI digunakan untuk mengidentifikasi dan menargetkan gulma secara otomatis, mengurangi penggunaan bahan kimia hingga 96 persen.
AI juga telah membantu petani mengoptimalkan penggunaan air dalam irigasi, memprediksi waktu penyiraman yang ideal berdasarkan data cuaca dan kondisi tanaman, yang pada gilirannya meningkatkan efisiensi penggunaan air.
Di sektor peternakan, AI digunakan untuk memantau kesehatan hewan secara real-time menggunakan sensor dan kamera, mendeteksi tanda-tanda awal penyakit sehingga dapat diambil tindakan lebih cepat.
Misalnya, mesin pemerah susu robotik yang dilengkapi AI kini mampu melacak perilaku sapi, memberikan data yang sangat berguna untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan hewan.
Penerapan AI juga telah merambah ke penggunaan drone yang dilengkapi teknologi AI untuk memantau kondisi tanaman dan hasil panen.
Drone ini mampu mendeteksi wabah hama, memprediksi hasil panen, dan bahkan membantu dalam proses pengemasan buah dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Meskipun investasi awal dalam teknologi AI masih cukup besar, manfaat jangka panjang yang diperoleh dari efisiensi operasional, penghematan sumber daya, dan peningkatan produktivitas menjadikan AI sebagai investasi yang berharga di sektor pertanian.
Diharapkan, seiring dengan berkembangnya teknologi, AI akan menjadi semakin terjangkau sehingga petani kecil pun dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan hasil pertanian mereka.
Dengan demikian, kontribusi ilmuwan seperti John J. Hopfield dan Geoffrey E. Hinton dalam pengembangan AI bukan hanya membawa perubahan besar di dunia ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi masa depan pertanian di seluruh dunia.
*) Penulis adalah guru besar pertanian di University of Sydney, Australia.
Baca juga: Opini - Menanti arah kebijakan pendidikan Prabowo
Baca juga: Opini - APBN 2025 berdayakan Indonesia keluar dari "middle income trap"