Bawaslu NTT kesulitan rekrut pengawas TPS

id Bawaslu

Bawaslu NTT kesulitan rekrut pengawas TPS

Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antarlembaga Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Jemris Fointuna. (ANTARA Foto/Asis Lewokeda)

Bwaslu NTT mengaku mengalami kesulitan dalam merekrut petugas pengawas tempat pemungutan suara (TPS) untuk Pemilu serentak 2019.
Kupang (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Nusa Tenggara Timur mengaku mengalami kesulitan dalam merekrut petugas pengawas tempat pemungutan suara (TPS) untuk Pemilu serentak 2019.

"Sampai hari ini, kami masih kesulitan mencari sumber daya manusia (SDM) yang ada di desa-desa untuk direkrut menjadi pengawas TPS," kata Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Jemris Fointuna, di Kupang, Minggu (3/3).

Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan perkembangan proses rekrutmen petugas pengawas TPS oleh Panwaslu Kecamatan untuk membantu panwaslu kelurahan/desa.

Menurut dia, Bawaslu membutuhkan 14.978 petugas pengawas tempat pemungutan suara atau pengawas TPS. Para petugas ini akan bertugas melakukan pengawasan pada 14.978 TPS pada Pemilu 2019 di Provinsi NTT.

Menurut dia, untuk menjadi Pengawas TPS harus memenuhi persyaratan antara lain WNI, pada saat pendaftaran berusia paling rendah 25 tahun.

Syarat lain adalah setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Baca juga: Masyarakat perlu dilibatkan dalam mengawasi Pemilu

Memiliki integritas, berkepribadian yang kuat, jujur, dan adil, ?memiliki kemampuan dan keahlian yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pemilu, ketatanegaraan, kepartaian, dan pengawasan Pemilu.

Berpendidikan paling rendah sekolah menengah atas atau sederajat, pendaftar diutamakan berasal dari kelurahan/desa setempat, mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika.

Dia mengatakan, syarat lain bisa dipenuhi tetapi syarat pendidikan minimal sekolah menengah inilah yang menyulitkan Bawaslu dalam proses rekrutmen.

"Bayangkan saja, ada desa di NTT yang tidak ada anak lulusan SMA yang tinggal di desa," katanya.

Padahal, salah satu syarat adalah mengutamakan berasal dari desa/kelurahan setempat, katanya.

Baca juga: Bawaslu gandeng tokoh masyarakat awasi Pemilu 2019
Baca juga: Kampus harus jadi kekuatan pengawasan partisipatif pemilu