Jakarta (ANTARA) - Pasar modal Indonesia baru saja diguncang fenomena yang jarang terjadi. Anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam sehari memaksa Bursa Efek Indonesia menerapkan trading halt, sebuah langkah darurat yang menandakan ketidakstabilan luar biasa.
Situasi ini mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan baru sehari setelahnya yakni mengizinkan emiten melakukan buyback saham tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan bahwa sampai saat diumumkan kebijakan tersebut telah banyak perusahaan tercatat yang menyampaikan minatnya untuk melakukan buyback saham dan pihaknya menunggu informasi resmi perusahaan terkait kepada OJK.
Misalnya saja pengusaha nasional sekaligus Presiden Direktur PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) Garibaldi 'Boy' Thohir secara pribadi dan perusahaan keluarganya yaitu PT Trinugraha Thohir (TNT) memperluas portofolionya di pasar modal dengan melakukan pembelian 7,3 juta lembar saham PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI).
Dan setelah kebijakan itu resmi diterapkan, IHSG memang mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Pada hari pengumuman kebijakan, IHSG yang sebelumnya anjlok hingga 7,1 persen berhasil rebound sekitar 1 persen. Langkah ini memberikan sentimen positif bagi investor, karena menunjukkan bahwa emiten memiliki instrumen untuk menstabilkan harga saham di tengah kepanikan pasar.
Bursa Efek Indonesia (BEI) juga mencatat peningkatan transaksi harian, yang mengindikasikan bahwa kebijakan ini membantu mengembalikan kepercayaan investor.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota BEI, Irvan Susandy, menyatakan bahwa dengan dilakukannya buyback, diharapkan harga saham dapat pulih, yang secara teoritis dapat meningkatkan IHSG.
Langkah ini memang menjadi sebuah kebijakan yang sekilas tampak sebagai solusi cepat, tetapi di baliknya mengundang berbagai pertanyaan dan perdebatan mendalam.
Saham yang jatuh tajam sering kali menjadi lahan spekulasi yang tidak sehat. Investor panik menjual, harga semakin turun, dan emiten yang seharusnya fokus pada operasional bisnisnya justru sibuk menangani dampak negatif dari volatilitas pasar.
Buyback saham memang kerap digunakan sebagai strategi untuk menopang harga yang anjlok, tetapi dalam kondisi normal, proses ini membutuhkan persetujuan RUPS.
Ini bukan sekadar prosedur administratif, melainkan mekanisme perlindungan bagi pemegang saham minoritas agar kebijakan perusahaan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Dengan adanya relaksasi dari OJK, langkah buyback bisa dilakukan lebih cepat, tetapi pertanyaannya adalah apakah kebijakan ini cukup efektif dalam menahan kejatuhan pasar atau justru membuka celah baru yang bisa disalahgunakan.
Di satu sisi, buyback saham memang dapat memberikan efek psikologis yang positif. Dengan emiten membeli kembali sahamnya, investor melihat adanya kepercayaan dari perusahaan terhadap fundamental bisnisnya.
Ini bisa mencegah aksi jual berlebihan yang hanya didorong oleh sentimen negatif jangka pendek.
Namun, tanpa pengawasan ketat, buyback yang dilakukan tanpa RUPS bisa menjadi alat bagi pemegang saham mayoritas untuk mengamankan kendali tanpa perlu melewati proses deliberasi yang seharusnya.
Dampak buyback
Ada risiko bahwa kebijakan ini tidak digunakan untuk kepentingan stabilisasi pasar secara luas, melainkan lebih kepada keuntungan sekelompok pemegang saham tertentu.
Selain itu, perlu dipertanyakan sejauh mana dampak buyback dalam situasi seperti ini benar-benar mampu menahan gejolak pasar dalam jangka panjang.
Jika sentimen negatif datang dari faktor eksternal, seperti ketidakpastian ekonomi global atau tekanan inflasi yang tinggi, buyback mungkin hanya menjadi solusi sementara yang tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Emiten yang melakukan buyback juga perlu memperhitungkan kondisi keuangan mereka.
Jika buyback dilakukan dalam jumlah besar menggunakan kas perusahaan, maka likuiditas mereka bisa terganggu, yang berpotensi menghambat ekspansi bisnis atau bahkan kemampuan membayar dividen kepada pemegang saham.
Kebijakan ini pun memunculkan dilema yang lebih luas dalam konteks regulasi pasar modal. Di satu sisi, fleksibilitas dalam buyback bisa membantu menenangkan pasar yang sedang mengalami tekanan luar biasa.
Di sisi lain, ada risiko bahwa kebijakan ini justru memperkuat praktik-praktik pasar yang kurang sehat, seperti manipulasi harga saham atau spekulasi berlebihan oleh kelompok tertentu yang memiliki akses lebih besar terhadap informasi dan sumber daya.
Penelitian yang dilakukan oleh Choirun Nisful Laili (2020) yang diterbitkan dalam Jurnal Akuntansi Aktual menganalisis dampak pengumuman buyback saham tanpa RUPS pada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan pada return saham, abnormal return, dan aktivitas volume perdagangan sebelum dan sesudah pengumuman buyback.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengumuman buyback saham tanpa RUPS tidak selalu memberikan keuntungan bagi investor.
Riset serupa pernah dilakukan M. Boy Singgih Gitayuda (2021) dalam Akuntabilitas Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Ekonomi Universitas Islam Balitar (Blitar) yang menganalisis buyback saham tanpa RUPS di PT Aneka Tambang Tbk. Kajian menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada return dan abnormal return sebelum dan sesudah pengumuman buyback.
Namun, terdapat perbedaan signifikan pada aktivitas volume perdagangan, yang menunjukkan adanya respons pasar terhadap pengumuman tersebut.
Masih rentan
Lebih lanjut, langkah OJK untuk mengizinkan emiten buyback saham tanpa RUPS ini menggarisbawahi satu kenyataan penting bahwa pasar modal Indonesia masih rentan terhadap guncangan eksternal.
Perubahan kebijakan yang dilakukan secara cepat memang menunjukkan responsivitas regulator, tetapi perlu diiringi dengan evaluasi ketat terhadap dampaknya dalam jangka panjang.
Ada beberapa langkah yang sebaiknya dipertimbangkan agar kebijakan ini benar-benar bermanfaat bagi stabilitas pasar secara menyeluruh.
Langkah yang bisa diterapkan di antaranya OJK perlu menetapkan batasan yang jelas terkait jumlah saham yang bisa dibeli kembali tanpa RUPS agar tidak ada emiten yang memanfaatkan kebijakan ini secara berlebihan.
Pembatasan ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan stabilisasi pasar dan kepentingan jangka panjang perusahaan.
Kemudian, transparansi harus tetap menjadi prioritas. Emiten yang melakukan buyback tanpa RUPS seharusnya diwajibkan untuk segera mengumumkan rencana mereka ke publik, termasuk jumlah saham yang akan dibeli, sumber dana yang digunakan, serta alasan strategis di balik keputusan tersebut.
Ini akan membantu investor memahami tujuan buyback dan mengurangi risiko terjadinya praktik manipulatif.
Selanjutnya, perlu ada mekanisme evaluasi berkala untuk menilai efektivitas kebijakan ini. Jika setelah beberapa bulan buyback terbukti tidak memberikan dampak signifikan terhadap stabilitas pasar, OJK seharusnya tidak ragu untuk merevisi atau bahkan mencabut kebijakan ini.
Fleksibilitas dalam regulasi memang penting, tetapi lebih penting lagi memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berkontribusi terhadap penguatan fundamental pasar modal Indonesia.
Di sisi lain, emiten juga harus diberikan panduan yang lebih komprehensif mengenai strategi manajemen krisis di pasar saham.
Buyback hanyalah salah satu alat, tetapi bukan satu-satunya solusi. Perusahaan seharusnya juga didorong untuk meningkatkan komunikasi dengan investor, memberikan informasi yang lebih transparan tentang kondisi keuangan dan prospek bisnis mereka, serta mencari strategi jangka panjang untuk meningkatkan daya saing mereka di pasar.
Dan yang tak kalah penting, kebijakan ini perlu dikaitkan dengan upaya yang lebih luas dalam memperkuat daya tahan pasar modal Indonesia.
Jika pasar bisa lebih stabil dalam menghadapi guncangan, kebutuhan akan intervensi kebijakan semacam ini bisa dikurangi.
Ini bisa dilakukan dengan memperkuat regulasi perdagangan, mendorong peningkatan jumlah investor ritel yang lebih berorientasi jangka panjang, serta memperbaiki ekosistem ekonomi makro yang mendukung pertumbuhan pasar modal secara berkelanjutan.
Fenomena anjloknya IHSG dan kebijakan buyback tanpa RUPS ini adalah pengingat bahwa pasar modal bukan sekadar tentang angka-angka di layar perdagangan, tetapi juga tentang psikologi investor, kepercayaan terhadap sistem, dan efektivitas regulasi yang diterapkan.
Dalam situasi krisis, langkah cepat memang diperlukan, tetapi langkah cepat yang tepat jauh lebih penting.
OJK sudah mengambil inisiatif dengan kebijakan ini, tetapi ke depan, tantangan yang lebih besar adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada stabilitas pasar dan kesejahteraan seluruh pelaku di dalamnya. Bukan pada segelintir pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap keputusan-keputusan strategis.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Seberapa efektif buyback saham tanpa RUPS untuk atasi IHSG anjlok?

Efektif buyback saham tanpa RUPS untuk atasi IHSG anjlok?


Seseorang memantau pergerakan saham melalui gawainya di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (18/3/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/nz/aa.