Jakarta (ANTARA) - Idulfitri selalu membawa suasana yang berbeda. Ada kegembiraan yang terasa di udara, ada harapan yang mengalir dalam setiap jabat tangan, dan ada kehangatan dalam setiap pertemuan.
Setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa, manusia kembali pada fitrahnya, kembali pada kesadaran bahwa hidup bukan sekadar perjalanan individu, tetapi juga tentang bagaimana saling terhubung, saling memberi, dan saling menguatkan.
Idulfitri adalah tentang kemenangan, tetapi bukan kemenangan dalam arti mengalahkan orang lain. Ini adalah kemenangan atas diri sendiri, atas ego, atas ketakutan, atas rasa ragu, dan atas segala sesuatu yang membatasi seseorang untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Ini adalah momentum untuk menata kembali hubungan, bukan hanya dengan sesama, tetapi juga dengan nilai-nilai yang lebih besar mencakup kejujuran, ketulusan, kebersamaan, dan pengabdian.
Dalam konteks kehidupan bernegara, Idulfitri mengajarkan bahwa sebuah bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu merekatkan perbedaan, bukan yang terpecah oleh kepentingan.
Sama seperti keluarga yang berkumpul kembali setelah sekian lama berjauhan, masyarakat dalam sebuah negara juga perlu menemukan titik temu dalam keberagaman.
Seperti halnya mudik yang menjadi tradisi tahunan bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin untuk mengingat bahwa akar kehidupan kita ada dalam kebersamaan.
Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi bangsa ini, Idulfitri membawa pesan optimisme bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk memulai kembali.
Tidak ada kesalahan yang tidak bisa dimaafkan, tidak ada luka yang tidak bisa disembuhkan, dan tidak ada jarak yang tidak bisa dijembatani jika ada ketulusan.
Dalam kehidupan politik, dalam dunia ekonomi, dalam dinamika sosial, sering kali terjebak dalam perasaan bahwa perbedaan adalah hambatan, padahal Idulfitri mengajarkan bahwa perbedaan adalah kekayaan yang bisa dirayakan.
Semua melihat dalam banyak kesempatan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang penuh dengan semangat berbagi.
Setiap Idulfitri, selalu ada tradisi memberi misalnya zakat, sedekah, bingkisan untuk keluarga dan tetangga, semuanya menjadi pengingat bahwa kesejahteraan tidak akan berarti jika hanya dinikmati sendiri.
Prinsip ini, jika diterapkan dalam kehidupan bernegara, akan melahirkan kebijakan yang lebih berorientasi pada kebersamaan, pada pemerataan, pada kesejahteraan yang tidak hanya milik segelintir orang.
Lebih dari sekadar perayaan, Idulfitri juga bisa menjadi refleksi tentang bagaimana bangsa ini ingin membangun masa depan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu belajar dari masa lalu tanpa terjebak di dalamnya, yang mampu melihat ke depan dengan optimisme, dan yang mampu menjadikan setiap tantangan sebagai peluang untuk tumbuh.
Jiwa Bersih
Seperti halnya seorang individu yang keluar dari Ramadan dengan jiwa yang lebih bersih, sebuah negara juga bisa menjadikan setiap ujian sebagai kesempatan untuk memperkuat nilai-nilai yang menjadi fondasi kehidupan bersama.
Idulfitri mengajarkan bahwa hidup bukan tentang siapa yang memiliki lebih banyak, tetapi tentang siapa yang mampu memberi lebih banyak.
Bangsa ini telah berkali-kali membuktikan bahwa di saat-saat sulit, solidaritas selalu menjadi kekuatan utama. Ketika bencana melanda, ketika krisis datang, ketika ada yang tertinggal, selalu ada tangan-tangan yang terulur.
Nilai ini adalah modal sosial yang luar biasa, sesuatu yang bisa menjadi fondasi bagi pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dalam suasana Idulfitri, ada kehangatan yang bisa menjadi inspirasi bagi cara seseorang menjalani kehidupan sehari-hari.
Senyum yang diberikan kepada orang asing di jalan, ucapan selamat yang tulus, kebersamaan dalam keluarga yang selama ini terpisah oleh kesibukan, semuanya menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati sering kali datang dari hal-hal yang sederhana.
Jika nilai-nilai ini bisa diterapkan dalam skala yang lebih besar, dalam cara berpolitik, dalam cara mengelola ekonomi, dalam cara merawat lingkungan, maka semua akan melihat bahwa kehidupan bernegara juga bisa menjadi lebih harmonis dan lebih bermakna.
Di hari yang penuh makna ini, bangsa ini diajak untuk tidak hanya merayakan kemenangan secara pribadi, tetapi juga melihat bagaimana semua bisa berkontribusi dalam kemenangan bersama.
Jika Idulfitri mengajarkan tentang kebersihan hati, maka ini adalah kesempatan untuk membersihkan niat dalam setiap tindakan.
Jika Idulfitri mengajarkan tentang keikhlasan, maka ini adalah waktu untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kebaikan bersama.
Jika Idulfitri mengajarkan tentang harapan, maka ini adalah momen untuk percaya bahwa masa depan selalu bisa lebih baik jika kita bersedia bekerja sama untuk mencapainya.
Tidak ada masyarakat yang sempurna, tidak ada negara yang tanpa tantangan, tetapi Idulfitri mengingatkan bahwa selalu ada jalan untuk memperbaiki diri.
Seperti individu yang berusaha menjadi lebih baik setelah Ramadan, sebuah bangsa juga bisa terus berkembang menjadi lebih adil, lebih sejahtera, dan lebih bersatu.
Idulfitri bukan sekadar hari libur atau tradisi tahunan, tetapi sebuah filosofi tentang bagaimana manusia, dan juga sebuah bangsa, bisa menemukan kembali esensi dari kehidupan yang lebih bermakna.
Di tengah berbagai dinamika yang terjadi, Idulfitri memberikan pesan yang sederhana namun kuat bahwa dalam setiap ujian selalu ada peluang untuk tumbuh, bahwa dalam setiap perbedaan selalu ada kesempatan untuk saling memahami, dan bahwa dalam setiap hati yang tulus selalu ada harapan untuk dunia yang lebih baik.
*) Penulis adalah Ketua Umum Generasi Muda Mathla’ul Anwar.
Editor: Dadan Ramdani
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Filosofi Idulfitri dalam kehidupan berbangsa