Kupang (ANTARA) - Pemerintah Australia menilai Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi daerah tujuan Program Inovasi, karena membutuhkan dukungan peningkatan pendidikan dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
"Kenapa NTT, karena NTT adalah provinsi dengan kebutuhan pendidikan yang cukup tinggi," kata Minister Counsellor Tata Kelola dan Pengembangan Manusia Kedutaan Besar (Kedubes) Australia Tim Stapleton di Kupang, Rabu.
Hal ini disampaikan usai menghadiri rapat ke-2 Komite pengarah Program Inovasi Fase 3 provinsi NTT yang dihadiri oleh beberapa kepala daerah dari daratan Pulau Timor, Pulau Sumba, dan Flores.
Dia mengatakan Program Inovasi kolaborasi dengan Pemerintah Indonesia itu bertujuan meningkatkan literasi dan numerik dan pendidikan karakter di NTT.
Melalui program itu, kata Tim, pihaknya ingin membantu Pemerintah Indonesia, khususnya Pemerintah NTT, untuk mengatasi masalah pendidikan sejak dini di NTT.
Dia menambahkan dukungan pendidikan yang diberikan juga sejalan dengan komitmen bersama antara Perdana Menteri (PM) Anthony Albanese dan Presiden Prabowo untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi anak-anak Indonesia melalui program itu.
Selain itu, kata dia, pemilihan NTT itu karena NTT merupakan provinsi yang paling dengan Australia.
Kepala Bapperida Provinsi NTT Alfonsus Theodorus menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor melalui pendekatan ekosistem pendidikan.
“Program Inovasi merupakan model kemitraan yang sistematis dan berdampak nyata dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dasar. Kami berterima kasih kepada Pemerintah Australia atas dukungannya melalui Program Inovasi,” ujarnya.
Saat ini beberapa kabupaten yang mendapatkan program itu antara lain Kabupaten Nagekeo, Sumba Timur, Sumba Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Alfonsus juga menilai keberadaan program itu dapat membantu mengurangi dan mencegah penilaian negatif tentang sektor pendidikan di NTT.
Berdasarkan laporan Bepperid lebih dari 25 persen siswa SMA di NTT berada dalam kategori literasi rendah. Hanya 24,7 persen sekolah tergolong baik dalam aspek literasi.
Tanpa intervensi jangka panjang yang terstruktur, anak-anak berisiko tertinggal dalam pembelajaran, kesulitan memasuki dunia kerja, dan terhambat dalam partisipasi sosial.

