Kupang (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya akan melibatkan semua pihak dan segera mempertemukan mereka untuk membicarakan bagaimana caranya dalam mengatasi praktik pungutan liar (pungli) yang marak terjadi pada objek-objek wisata di ujung barat daya Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur itu.
"Rencananya tanggal 24 Juni nanti kami mengadakan pertemuan bersama semua pihak dari camat, kepala desa, tokoh masyarakat adat, dan unsur TNI-Polri untuk membicarakan penanganan masalah pungli ini," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat Daya Christofel Horo ketika dihubungi dari Kupang, Jumat (14/6).
Ia mengatakan hal itu terkait upaya pemerintah daerah menangani persoalan praktik pungutan liar yang marak terjadi pada berbagai objek wisata di Kabupaten Sumba Barat Daya, Pulau Sumba itu.
Diakuinya bahwa persoalan pungli pada objek-objek wisata di daerah itu masih marak terjadi dan selalu menghadirkan cerita yang miring bagi para wisatawan. "Ini (pungli) tidak hanya dirasakan wisatawan dari luar daerah, tapi warga lokal di sini juga terusik dengan kondisi ini," katanya.
Menurutnya, kondisi ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah setempat sehingga upaya mereduksi praktik pungli ini perlu segera dilakukan. "Untuk itu pada pertemuan nanti, kami akan menentukan seperti apa penetrasi dari pemerintah daerah bersama berbagai pihak terkait untuk mengatasi pungli ini," katanya.
Pihaknya berharap pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat itu nantinya bisa menemukan jalan keluar terbaik untuk penanganan praktik pungli sehingga tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Baca juga: Staf desa terjaring OTT
Sebelumnya, persoalan pungli dan aksi pemalakan di sejumlah objek wisata di Sumba Barat Daya itu mendapat sorotan kritis dari para pelaku wisata yang sering dipungli saar membawa wisatawan ke daerah itu.
Hal ini dikemukakan pemilik operator tour PT Flores Komodo Tours, Oyan Kristian, yang menjadi korban praktik pungli pada sejumlah objek wisata seperti Tanjung Mareha, Watu Malando, dan Pantai Mbawana.
"Yang membuat kami heran, praktik pungli ini bukan hanya dilakukan orang-orang dewasa, tetapi juga anak-anak di sekitar objek wisata ikut serta melakukan pungli tersebut," ujarnya.
Ia mengatakan, praktik pungli dilakukan dengan berbagai alasan seperti buku tamu untuk tiket masuk, parkiran, dan pemakaian toilet. Selain itu, ketika wisatawan berdiri di samping kuda untuk berpose juga harus membayar di luar dari biaya ketika ingin menunggangi kuda.
Pihaknya berharap, persoalan ini segera ditanggapi pemerintah daerah setempat karena jika dibiarkan akan memberikan citra buruk bagi pariwisata setempat sehingga menyulitkan promosi dalam meningkatkan kunjungan wisatawan.
Baca juga: ASITA kritik pungli di Sumba Barat Daya
Baca juga: Asita NTT minta bupati SBD atasi pungli di lokasi objek wisata