Artikel - Menjaga kedaulatan NKRI dengan menukarkan uang lusuh
Kali ini modal yang dibawa oleh Bank Indonesia sendiri berjumlah Rp3,5 miliar untuk lima pulau yang disinggahi. Masing-masing pulau memiliki jumlah yang berbeda-beda.
Kupang (ANTARA) - Sang mentari perlahan-lahan mulai menampakan rupanya di ufuk timur pada Rabu (25/9) pagi, namun KRI Hiu 634 belum berani bersandar di pelabuhan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Kabut tebal masih menyelimuti bagian barat dari pulau Lembata karena sang mentari masih malu-malu menunjukan rupanya yang cantik. "Kapal belum bisa merapat karena belum tahu lokasi pelabuhan di mana," kata Serda Kom Hufron, salah seorang personel KRI Hiu 634.
Namun perlahan-lahan kabut yang menutupi daerah itu mulai hilang. Tak berselang lama tepat pukul 06.00 WITA terdengar suara dari ruang kemudi yang meminta agar sejumlah personel bersiap untuk bersandar.
"Ruangan-ruangan, 634 peran muka belakang," teriak operator agar sejumlah personel yang bertugas segera bersiap di anjungan dan buritan karena kapal segera bersandar.
Bagi personel TNI AL khususnya yang bertugas di KRI, turun ke pulau adalah hal yang sangat menyenangkan, karena bisa menghirup udara segar dan mencium bau tanah.
Rabu pagi itu adalah hari terakhir di mana KRI Hiu 634 membawa tim ekspedisi kas keliling pulau Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T) dari Bank Indonesia untuk menukarkan uang lusuh, serta sosialiasi ciri keaslian rupiah dan juga memberikan bantuan kepada masyarakat.
Sejak dari Jumat (20/9) pekan lalu, KRI Hiu 634 sudah berlayar ke lima pulau yang masuk dalam kawasan daerah 3T di wilayah provinsi berbasis kepulauan itu.
Pulau-pulau yang disinggahi adalah Pulau Sumba, Pulau Komodo, Pulau Flores, Pulau Pemana dan terakhir adalah Pulau Lembata. Dalam ekspedisi itu, ada sekitar 16 tim ynag diikutsertakan, mulai dari Bank Indonesia serta sejumlah wartawan.
Ketua Tim Ekspedisi Kas Keliling Pulau 3T, Nurdin Elon mengatakan bahwa ada tiga kegiatan utama yang dilakukan yakni penukaran uang disertai sosialisasi ciri keaslian rupiah serta pemberian bantuan.
Tantangan terberat dalam kegiatan ini adalah saat harus menyeberang ke daratan menggunakan sekoci karena tak ada pelabuhan atau dermaga yang bisa dijadikan tempat bersandarnya kapal.
Kepala Departemen Pengendalian Uang (DPU) BI Heru Pranoto mengatakan dengan layanan kas keliling ini, masyarakat bisa menukarkan uang lamanya yang telah lusuh, lecek, bahkan robek.
Dia menjelaskan bahwa Bank Indonesia menerima penukaran uang lama atau uang lusuh dengan kualitas fisik tiga perempat bagian yang utuh. Artinya, bila ada uang kertas yang robek dalam seperempat bagiannya, masih bisa ditukar ke uang baru.
Kali ini modal yang dibawa oleh Bank Indonesia sendiri berjumlah Rp3,5 miliar untuk lima pulau yang disinggahi. Masing-masing pulau memiliki jumlah yang berbeda-beda.
Salah satu pulau yang dituju adalah Lembata tepatnya di Desa Lamalera, yang dikenal karena nelayan di daerah itu memiliki tradisi berburu ikan paus. Selain tradisi berburu tersebut, desa itu juga disebut oleh beberapa tim ekspedisi adalah desa yang jaraknya jauh dari lokasi bersandarnya kapal.
"Kalau lokasi-lokasi sebelumnya jaraknya kurang dari satu kilometer, tetapi ini menantang sekali," kata Kemas, salah seorang staf Bank Indonesia. Perjalanan dari pelabuhan Wulandoni ke Lamalera sendiri harus melewati jalan berbatu-batu, dan juga di sisi kanan dan kiri terdapat jurang yang terjal.
Belum lagi, untuk menuju ke desa Lamalera, tim harus melewati rintangan lain yakni jalan menanjak yang langsung berbelok. "Lokasi terakhir ini kalau pengemudinya tak mahir, pasti akan celaka," tambah Kemas.
Perjalanan ke desa Lamalera menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Saat tiba di lokasi, tim langsung disambut dengan tarian serta langsung dikukuhkan sebagai masyarakat Lamalera dengan terlebih dahulu disuguhkan sirih pinang dan rokok.
Nurdin mengaku terharu karena di pulau terakhir ekspedisi kas keliling tim disambut dengan sangat meriah.
Diterjang Gelombang
Tak akan ada cerita jika saat berlayar berhari-hari tanpa diterjang gelombang tinggi. Kali ini tim harus diterjang gelombang setinggi 2,5 meter saat berlayar dari Labuan Bajo, menuju ke Pulau Pemana, pulau paling Utara NTT.
Sejak awal saat bertolak dari Labuan Bajo pada pukul 18.00 wita cuaca memang sudah tak bersahabat. Beberapa anggota tim ekspedisi sudah mulai gelisah saat melihat awan tebal mulai menutupi lautan. Usai makan malam. Tepat pukul 19.00 wita, KRI Hiu 634 perlahan-lahan mulai digoyang-goyang. Kamar seluruh ekspedisi tepat di bagian depan tepatnya di sisi kapal pemecah gelombang.
Gelombang tinggi disertai dengan saat kapal membelah gelombang sangat terasa goyangannya. Beberapa anggota timpun terpaksa mencari aman dengan duduk di bagian belakang kapal.
"Di sini memang tempatnya paling aman. Tak akan terasa goyangannya," kata Hufron. Bagi TNI-AL gelombang setinggi 2,5 meter bukan disebut sebagai gelombang, karena masih ada gelombang yang lebih tinggi dan berbahaya lagi yang bisa mencapai lima meter.
Pada awalnya suasana di kamar tim ekspedisi penuh dengan canda dan tawa, namun akibat gelombang semakin tinggi, kamar itu semakin sunyi dan sepi, hanya terdengar dentuman gelombang di sisi kanan dan kiri kapal.
Entah berapa lama kapal tersebut diterjang gelombang. Namun yang pasti saat terjaga pada pukul 02.00 WITA, kapal masih goyang dan gelombang masih tinggi sekali, sementara perjalanan masih jauh.
Sampai fajar menyingsing, baru sejumlah tim ekspedisi mulai bangun dari tidur, saat itu kapal sudah berada di sekitar Pulau Pemana, wilayah Kabupaten Sikka di Pulau Flores.
Namun beberapa anggota yang mabuk laut akibat gelombang belum sadar sepenuhnya. Bahkan saat tiba di darat, goyangan-goyangan masih sangat terasa. "Kok saya merasa seperti pulau ini bergoyang-goyang ya," kata Rachma.
Pertanyaan itu langsung ditanggapi oleh anggota yang lain, dan mereka pun merasa hal yang sama. Kejadian tersebut menjadi pengalaman baru bagi tim.
Bahkan, beberapa anggota tim, sempat merekam bagaimana keadaan kawan-kawan tim ekspedisi itu mabuk laut saat gelombang menerjang.
Walaupun diterjang gelombang pada malam itu, aktivitas pelayanan tetap berjalan. Bahkan, sempat melakukan penukaran uang di pasar tradisional di wilayah kabupaten tersebut..
Jaga Kedaulatan NKRI
Kehadiran Bank Indonesia bekerja sama dengan TNI AL melalui ekspedisi itu dinilai sangat membantu masyarakat. Hal tersebut diakui langsung oleh beberapa warga yang ditemui saat BI-TNI AL mengelar ekspedisi di sejumlah pulau 3T itu.
Salehhuddin, seorang warga di Waikelo Sumba Barat Daya menilai bahwa hal tersebut sangat membntu para pengusaha di daerah itu khususnya para pengusaha yang kesulitan menukarkan uang lusuh di perkotaan.
"Kalau ada penukaran uang di bank, itu pun jumlahnya tak sebanyak yang kita inginkan. Saya menukarkan uang lusuh sebanyak Rp200 juta, dan ini ditukarkan semua," tutur dia.
Sayangnya, menurut Salehhudin, informasi penukaran uang lusuh ini tidak merata sehingga banyak yang tak mengetahui jadwal penukaran uang lusuh.
Sementara itu, Camat Desa Pemana kabupaten Sikka, La Ampo mengatakan bahwa warga di desanya memang kesulitan menukarkan uang lusuhnya karena pulau Pemana berjauhan dengan kota Maumere.
"Dua jam perjalanan dari desa ini ke Maumere untuk menukarkan uang. Nah keberadaan BI sendiri ini sangatlah membantu warga saya," tutur La Ampo. Antusias warga memang sangat tinggi sekali di pulau yang pernah diguncang gempa berkekuatan Magnitudo 7,8 itu.
La Ampo menilai pelaksanaan penukaran uang rupiah lusuh dan sosialisasi ciri-ciri keaslian rupiah di pulau-pulau Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T) merupakan cara BI untuk mempertahankan kedaulatan NKRI.
"Kegiatan seperti inikan sangat bagus, artinya bahwa dengan rupiah, BI ingin mengukuhkan bahwa pulau-pulau 3T seperti Pulau Pemana ini harus dipertahankan kedaulatannya," katanya.
Ia tak ingin pulau Pemana itu bernasib sama seperti pulau Sipadan dan Ligitan yang akhirnya direbut oleh negara lain. La Ampo mengatakan bahwa salah satu penyebab dari terlepasnya kedua pulau itu dari kedaulatan NKRI karena warga di daerah itu bertransaksi dengan mata uang negara lain.
Pengakuan seperti itu tak hanya disampaikan oleh mereka yang pulaunya disinggahi BI dan TNI AL. Warga di pulau-pulau lainnya juga mengatakan hal yang sama.
Beberapa warga justru berharap kegiatan ekspedisi dan penukaran uang lusuh serta sosialisasi dilakukan satu kali dalam setahun, mengingat akses perbankan di pulau-pulau terluar sangat minim.
Kabut tebal masih menyelimuti bagian barat dari pulau Lembata karena sang mentari masih malu-malu menunjukan rupanya yang cantik. "Kapal belum bisa merapat karena belum tahu lokasi pelabuhan di mana," kata Serda Kom Hufron, salah seorang personel KRI Hiu 634.
Namun perlahan-lahan kabut yang menutupi daerah itu mulai hilang. Tak berselang lama tepat pukul 06.00 WITA terdengar suara dari ruang kemudi yang meminta agar sejumlah personel bersiap untuk bersandar.
"Ruangan-ruangan, 634 peran muka belakang," teriak operator agar sejumlah personel yang bertugas segera bersiap di anjungan dan buritan karena kapal segera bersandar.
Bagi personel TNI AL khususnya yang bertugas di KRI, turun ke pulau adalah hal yang sangat menyenangkan, karena bisa menghirup udara segar dan mencium bau tanah.
Rabu pagi itu adalah hari terakhir di mana KRI Hiu 634 membawa tim ekspedisi kas keliling pulau Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T) dari Bank Indonesia untuk menukarkan uang lusuh, serta sosialiasi ciri keaslian rupiah dan juga memberikan bantuan kepada masyarakat.
Sejak dari Jumat (20/9) pekan lalu, KRI Hiu 634 sudah berlayar ke lima pulau yang masuk dalam kawasan daerah 3T di wilayah provinsi berbasis kepulauan itu.
Pulau-pulau yang disinggahi adalah Pulau Sumba, Pulau Komodo, Pulau Flores, Pulau Pemana dan terakhir adalah Pulau Lembata. Dalam ekspedisi itu, ada sekitar 16 tim ynag diikutsertakan, mulai dari Bank Indonesia serta sejumlah wartawan.
Ketua Tim Ekspedisi Kas Keliling Pulau 3T, Nurdin Elon mengatakan bahwa ada tiga kegiatan utama yang dilakukan yakni penukaran uang disertai sosialisasi ciri keaslian rupiah serta pemberian bantuan.
Tantangan terberat dalam kegiatan ini adalah saat harus menyeberang ke daratan menggunakan sekoci karena tak ada pelabuhan atau dermaga yang bisa dijadikan tempat bersandarnya kapal.
Kepala Departemen Pengendalian Uang (DPU) BI Heru Pranoto mengatakan dengan layanan kas keliling ini, masyarakat bisa menukarkan uang lamanya yang telah lusuh, lecek, bahkan robek.
Dia menjelaskan bahwa Bank Indonesia menerima penukaran uang lama atau uang lusuh dengan kualitas fisik tiga perempat bagian yang utuh. Artinya, bila ada uang kertas yang robek dalam seperempat bagiannya, masih bisa ditukar ke uang baru.
Kali ini modal yang dibawa oleh Bank Indonesia sendiri berjumlah Rp3,5 miliar untuk lima pulau yang disinggahi. Masing-masing pulau memiliki jumlah yang berbeda-beda.
Salah satu pulau yang dituju adalah Lembata tepatnya di Desa Lamalera, yang dikenal karena nelayan di daerah itu memiliki tradisi berburu ikan paus. Selain tradisi berburu tersebut, desa itu juga disebut oleh beberapa tim ekspedisi adalah desa yang jaraknya jauh dari lokasi bersandarnya kapal.
"Kalau lokasi-lokasi sebelumnya jaraknya kurang dari satu kilometer, tetapi ini menantang sekali," kata Kemas, salah seorang staf Bank Indonesia. Perjalanan dari pelabuhan Wulandoni ke Lamalera sendiri harus melewati jalan berbatu-batu, dan juga di sisi kanan dan kiri terdapat jurang yang terjal.
Belum lagi, untuk menuju ke desa Lamalera, tim harus melewati rintangan lain yakni jalan menanjak yang langsung berbelok. "Lokasi terakhir ini kalau pengemudinya tak mahir, pasti akan celaka," tambah Kemas.
Perjalanan ke desa Lamalera menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Saat tiba di lokasi, tim langsung disambut dengan tarian serta langsung dikukuhkan sebagai masyarakat Lamalera dengan terlebih dahulu disuguhkan sirih pinang dan rokok.
Nurdin mengaku terharu karena di pulau terakhir ekspedisi kas keliling tim disambut dengan sangat meriah.
Diterjang Gelombang
Tak akan ada cerita jika saat berlayar berhari-hari tanpa diterjang gelombang tinggi. Kali ini tim harus diterjang gelombang setinggi 2,5 meter saat berlayar dari Labuan Bajo, menuju ke Pulau Pemana, pulau paling Utara NTT.
Sejak awal saat bertolak dari Labuan Bajo pada pukul 18.00 wita cuaca memang sudah tak bersahabat. Beberapa anggota tim ekspedisi sudah mulai gelisah saat melihat awan tebal mulai menutupi lautan. Usai makan malam. Tepat pukul 19.00 wita, KRI Hiu 634 perlahan-lahan mulai digoyang-goyang. Kamar seluruh ekspedisi tepat di bagian depan tepatnya di sisi kapal pemecah gelombang.
Gelombang tinggi disertai dengan saat kapal membelah gelombang sangat terasa goyangannya. Beberapa anggota timpun terpaksa mencari aman dengan duduk di bagian belakang kapal.
"Di sini memang tempatnya paling aman. Tak akan terasa goyangannya," kata Hufron. Bagi TNI-AL gelombang setinggi 2,5 meter bukan disebut sebagai gelombang, karena masih ada gelombang yang lebih tinggi dan berbahaya lagi yang bisa mencapai lima meter.
Pada awalnya suasana di kamar tim ekspedisi penuh dengan canda dan tawa, namun akibat gelombang semakin tinggi, kamar itu semakin sunyi dan sepi, hanya terdengar dentuman gelombang di sisi kanan dan kiri kapal.
Entah berapa lama kapal tersebut diterjang gelombang. Namun yang pasti saat terjaga pada pukul 02.00 WITA, kapal masih goyang dan gelombang masih tinggi sekali, sementara perjalanan masih jauh.
Sampai fajar menyingsing, baru sejumlah tim ekspedisi mulai bangun dari tidur, saat itu kapal sudah berada di sekitar Pulau Pemana, wilayah Kabupaten Sikka di Pulau Flores.
Namun beberapa anggota yang mabuk laut akibat gelombang belum sadar sepenuhnya. Bahkan saat tiba di darat, goyangan-goyangan masih sangat terasa. "Kok saya merasa seperti pulau ini bergoyang-goyang ya," kata Rachma.
Pertanyaan itu langsung ditanggapi oleh anggota yang lain, dan mereka pun merasa hal yang sama. Kejadian tersebut menjadi pengalaman baru bagi tim.
Bahkan, beberapa anggota tim, sempat merekam bagaimana keadaan kawan-kawan tim ekspedisi itu mabuk laut saat gelombang menerjang.
Walaupun diterjang gelombang pada malam itu, aktivitas pelayanan tetap berjalan. Bahkan, sempat melakukan penukaran uang di pasar tradisional di wilayah kabupaten tersebut..
Jaga Kedaulatan NKRI
Kehadiran Bank Indonesia bekerja sama dengan TNI AL melalui ekspedisi itu dinilai sangat membantu masyarakat. Hal tersebut diakui langsung oleh beberapa warga yang ditemui saat BI-TNI AL mengelar ekspedisi di sejumlah pulau 3T itu.
Salehhuddin, seorang warga di Waikelo Sumba Barat Daya menilai bahwa hal tersebut sangat membntu para pengusaha di daerah itu khususnya para pengusaha yang kesulitan menukarkan uang lusuh di perkotaan.
"Kalau ada penukaran uang di bank, itu pun jumlahnya tak sebanyak yang kita inginkan. Saya menukarkan uang lusuh sebanyak Rp200 juta, dan ini ditukarkan semua," tutur dia.
Sayangnya, menurut Salehhudin, informasi penukaran uang lusuh ini tidak merata sehingga banyak yang tak mengetahui jadwal penukaran uang lusuh.
Sementara itu, Camat Desa Pemana kabupaten Sikka, La Ampo mengatakan bahwa warga di desanya memang kesulitan menukarkan uang lusuhnya karena pulau Pemana berjauhan dengan kota Maumere.
"Dua jam perjalanan dari desa ini ke Maumere untuk menukarkan uang. Nah keberadaan BI sendiri ini sangatlah membantu warga saya," tutur La Ampo. Antusias warga memang sangat tinggi sekali di pulau yang pernah diguncang gempa berkekuatan Magnitudo 7,8 itu.
La Ampo menilai pelaksanaan penukaran uang rupiah lusuh dan sosialisasi ciri-ciri keaslian rupiah di pulau-pulau Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T) merupakan cara BI untuk mempertahankan kedaulatan NKRI.
"Kegiatan seperti inikan sangat bagus, artinya bahwa dengan rupiah, BI ingin mengukuhkan bahwa pulau-pulau 3T seperti Pulau Pemana ini harus dipertahankan kedaulatannya," katanya.
Ia tak ingin pulau Pemana itu bernasib sama seperti pulau Sipadan dan Ligitan yang akhirnya direbut oleh negara lain. La Ampo mengatakan bahwa salah satu penyebab dari terlepasnya kedua pulau itu dari kedaulatan NKRI karena warga di daerah itu bertransaksi dengan mata uang negara lain.
Pengakuan seperti itu tak hanya disampaikan oleh mereka yang pulaunya disinggahi BI dan TNI AL. Warga di pulau-pulau lainnya juga mengatakan hal yang sama.
Beberapa warga justru berharap kegiatan ekspedisi dan penukaran uang lusuh serta sosialisasi dilakukan satu kali dalam setahun, mengingat akses perbankan di pulau-pulau terluar sangat minim.