Kupang (Antara NTT) - Ketua Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Pendeta Mery Kolimon mengatakan agama Kristen Protestan memandang Pancasila sebagai suatu ideologi yang tidak bersifat kaku atau tertutup.
Ia mengatakan hal itu ketika hadir sebagai salah satu narasumber Seminar Nasional Kebangsaan di Kupang, Selasa, yang digelar Forum Pembaruan Kebangsaan bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pendeta Mery Kolimon sendiri hadir memaparkan materi tentang Pancasila sebagai sumber inspirasi dan aspirasi hidup damai bangsa Indonesia dari perspekif Kristen dalam seminar yang dihadiri sedikitnya 300 orang dari berbagai kalangan pemerintah dan masyarakat itu.
Menurutnya, Pancasila sebagai ideologi bersifat reformatif, dinamis, dan terbuka. Artinya, kata dia, ideologi Pancasila bersifat aktual, dinamis, dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan masyarakat.
"Keterbukaan ideologi Pancasila tidak berarti untuk mengubah nilai-nilai Pancasila yang telah ada karena sudah menjadi final bagi bangsa dan negara Indonesia," katanya.
Dalam padangan Kristen, lanjutnya, tidak ada masalah menerima Pancasila selama pemahaman tentang kelima sila dari Pancasila tetap terbuka dan tidak menjadi doktrin yang tertutup.
Kelima sila yang ada dalam Pancasila itu tidak bertentangan dengan Alkitab dan dalam pelaksanaannya secara konsekuen akan mendukung pengembangan kegiatan setiap agama yang ada di Indonesia.
Pendeta Mery menyebut, seorang pemikir yang juga mantan pimpinan Dewan Gereja Indonesia (sekarang PGI) yang serius memikirkan hubungan antara Kekristenan dan Pancasila, TB Simatupang yang mengatakan Pancasila sebagai modus vivendi.
Sebagai modus vivendi, lanjutnya, Pancasila ditentukan melalui proses dialog, melalui kerja sama, dan dapat menuntun bangsa ini menghadapi tantangan bersama.
Dengan demikian, ideologi Pancasila diperuntukkan bagi seluruh bangsa Indonesia, bukan bagi seseorang atau sekelompok orang kecil bangsa Indonesia.
"Secara keseluruhan, Pancasila dapat merangkul semua kelompok dan memberi ruang kepada semua golongan dengan segala keanekaragamannya," katanya.
Menurutnya, dalam Pancasila tidak ada istilah yang mendiskriminasikan suatu kelompok tertentu atau mengistimewakan kelompok lain, atau membedakan mayoritas dan minoritas.
Ia mengatakan, dalam nilai-nilai Pancasila, semua anak bangsa baik perempuan dan laki-laki, kaya dan miskin, anak dan dewasa memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai rakyat Indonesia.
Karena itu, Pancasila mestinya bukan lagi merupakan alternatif melainkan imperatif bagi bangsa Indonesia yang majemuk," ungkapnya.