Kupang (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona mengingatkan jangan ada kesan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dipaksakan untuk melaksanakan sebuah demokrasi prosedural.
"Jika pilkada ini terkesan dipaksakan, lalu menjadi sekedar pilkada yang prosedural, maka ancamannya adalah pada hajat hidup rakyat daerah sendiri," kata Mikhael Raja Muda Bataona kepada ANTARA di Kupang, Senin (8/6).
Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan keputusan pemerintah dan DPR untuk tetap melaksanakan pilkada serentak pada 9 Desember 2020, di tengah pandemi COVID-19 yang belum mereda.
Baca juga: KPU NTT: Perlu tambahan anggaran untuk Pilkada
Baca juga: Tahapan pilkada direncanakan dimulai 15 Juni
Pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada FISIP Unwira Kupang mengatakan harus diakui bahwa KPU dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri sangat dilematis dengan situasi pandemi saat ini.
"Tetapi sebagai negara yang sudah memilih demokrasi sebagai cara dan sistem juga sebagai negara hukum, lembaga-lembaga tersebut wajib tunduk pada aturan main bernegara, sehingga meskipun ini masa pandemi, pilkada akhirnya harus tetap dilaksanakan," katanya.
Meski pilihan ini sulit dan sangat menantang bagi penyelenggara, tetapi jangan sampai terkesan hanya untuk melaksanakan sebuah pesta demokrasi prosedural, kata pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.
Sebab, menurut dia, yang paling penting adalah perwujudan demokrasi yang substansial lewat pilkada ini. Itulah tantangan bagi penyelenggara.
Dia mengatakan, hal yang harus dipahami bahwa konsistensi dan ketepatan waktu menjalankan Pemilu itu, tidak hanya sekadar sebuah prosedur.
Baca juga: Petahana tak politisir bantuan sosial
Tetapi lebih daripada itu adalah untuk menghasilkan kepemimpinan di segala level yang berkualitas, dicintai oleh rakyat, dan dipercaya oleh rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat.
Karena itu, jika pilkada ini terkesan dipaksakan lalu menjadi sekedar pilkada yang prosedural, maka ancamannya adalah pada hajat hidup rakyat daerah sendiri.
"Sebab pemimpin yang dihasilkan nanti bisa saja legal dan sah secara hukum, tapi lemah legitimasinya karena partisipasi rakyat rendah saat pilkada akibat teror COVID-19 ini," katanya.
"Jadi kita berharap bahwa KPU dan instrumen terkait bisa menyiapkan sebuah pilkada yang jujur, bebas dan adil bagi penyaluran aspirasi rakyat," katanya.
Tujuannya agar Kepemimpinan yang dihasilkan di masa COVID-19 ini pun memiliki legitimasi dan mampu mewujudkan kemajuan substantif di setiap daerah di NTT pascadilantik, katanya.