Kupang (Antara NTT) - Peneliti Bidang Peternakan dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Ir Gusti Jelantik MSc PhD meminta pemerintah daerah fokus mengembangkan pembibitan sapi untuk menghasilkan bibit yang banyak dan berkualitas.
"Untuk menghasilkan bibit yang jumlahnya banyak dan berkualitas itu tidak mudah, kami melihat ada 13 teknologi yang harus dikuasai peternak pembibit mulai dari seleksi induk, seleksi pejantan, waktu pengawinan dan sebagainya," katanya dalam diskusi yang diselenggarakan Ombudsman RI Perwakilan NTT di Kupang, Jumat.
Diskusi itu terkait implementasi tata niaga sapi di NTT yang melibatkan berbagai pihak seperti Dinas Peternakan NTT, Perhimpunan Petani Peternak Sapi Kerbau Indonesia (PPSKI), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Balai Karantina, sejumlah pengusaha sapi dan LSM setempat.
Jelantik mengatakan hal itu terkait kebijakan apa yang dapat diambil pemerintah provinsi maupuan kabupaten setempat dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas ternak.
Persoalan yang yang dihadapi saat ini, menurut dia, pembibitan sapi masih dilakukan para peternak yang kecil sementara penggemukkan sapi oleh peternak yang lebih moderen dengan modal yang memadai.
"Ke depan pemerintah daerah kita harus memberikan kebijakan yang kondusif bagi pengembangan industri sapi," kata dosen Fakultas Peternakan Undana Kupang itu.
Idealnya, kata dia, industri yang dikembangkan untuk mengerjakan pembibitan sapi sementara peternak kecil dengan modal kecil mengerjakan penggemukan sapi.
Ia mencontohkan, ada perusahaan pembibitan PT Bumi Tirta Oesao di Kabupaten Kupang yang baru berkembang namun tidak bisa bertahan lama karena tidak pernah mendapat fasilitas apapun dari pemerintah.
"Perusahaan kesulitan mengakses kredit, kesulitan pasokan air dan lainnya, sehingga pemerintah ke depannya meski memikirkan untuk memfasilitasi perusahaan pembibitan semacam ini," katanya.
Menurut dia, kunci keberhasilan dari pembibitan sapi salah satunya adalah meningkatkanangka kelahiran, dimana rata-rata di Nusa Tenggara Timur saatiini hanya mencapai 65 persen.
"Sementara tahun 70-an itu angka kelahiran sapi di NTT mencapai 85 persen jadi ada penurunan 20 persen selama 30-40 tahun terakhir ini," katanya.
Ia menjelaskan, penurunan itu disebabkan faktor padang pengembalaan yang semakin berkurang dan berkualitas rendah. Selain itu juga terjadi pemecahan populasi.
"Duluh sapi-sapi dilepas dan melakukan kawin-mawin sendiri, sekarang 3 atau 4 ekor sapi dilepas sendiri tidak ada pejantan sehingga bagaimana bisa bunting," katanya.
Berdasarkan studi yang dilakukan pihaknya, ia menyaranakan, agar untuk mencapai angka kelahiran sapi yang mendekati 100 persen maka perlu disediakan iduknya paling kurang 20 ekor yang digembalakan.
Untuk itu, ia mengatakan, jika kebijakan pemerintah hendak menyalurkan bantuan kepada peternak sapi maka disalurkan kepada yang sudah berhasil.
"Jadi peternak yang punya 5 atau 6 ekor sapi yang sudah berhasil ditambahkan menjadi 20 sedangkan untuk penggemukan diberikan kepada peternak baru sekalipun tidak masalah seperti yang kami temukan di Kabupaten Timor Tengah Selatan," katanya.
Usaha penggemukan sapi jika diberikan kepada peternak kecil maka kemungkinan gagalnya kecil dibanding sapi bibit jika diberikan ke peternak baru cenderung tidak produktif.
Dia mengatakan, program-program pemerintah terkait bantuan ternak kepada masyarakat harus disesuaikan dengan kesiapan pakan ternak.
"Jadi harus pakan duluh baru pengadaan sapi, jangan berikan sapi duluh baru cari pakan karena produktivitasnnya tidak terjamin," katanya.